Rabu, 01 Juli 2020

Bupati Bima Hadiri HUT Bhayangkara di Mapolres Panda

Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri SE, menghadiri upacara HUT Bhanyangkara ke 74, di Mapolres Bima Kabupaten secara virtual Senin, 1 Juli 2020.

Bupati Umi Dinda hadir sekitar pukul 07:30 pagi, satu jam pelaksanaan upacara dimulai, yang mengambil tema "Kamtibmas Kondusif Masyarakat Semakin Produktif".

Selain Bupati, ikut menghadiri upacara secara Virtual yang dipimpin langsung Presiden RI dari Istana Negara tersebut, adalah Kapala BNN Kabupaten Bima AKBP Hurri Nugroho, SH., MH, Pengadilan Negeri Raba Bima, Kejaksaan Negeri Raba Bima, Dandim 1608 Bima dan unsur Forkopimda Bima.

Bupati Umi Dinda mengucapkan selamat hari Bhayangkara ke 74 semoga Kepolisian tetap semangat dan jaya selalu.

Kepada jajaran Kepolisian Kabupaten, terima kasih dengan disiplin yang tinggi menjaga keamanan dan ketertiban, sehingga wilayah Kabupaten Bima relatif kondusif.

"Sekarang tahun politik, kita jaga bersama agar Situasi Kamtibmas kondusif, karena keamanan bukan tugas TNI Polri saja," ujar Bupati di Mapolres Kabupaten, usai mengikuti acara, Rabu 1 Juli 2020. 

Selasa, 30 Juni 2020

Bupati Bima Jadi Narasumber Dipeluncuran Buku ‘Perempuan Kepala Daerah’

        Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri SE, menjadi narasumber pada kegiatan Webinar Peluncuran dan Bedah Buku ‘Perempuan Kepala Daerah dan Kebijakan Berperspektif Gender dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pandemi Covid-19, di ruang kerja Bupati, selasa 30 Juni 2020.
Tampil sebagai pembicara ke tiga, Bupati Umi Dinda mengangkat topik ‘Pengalaman Perempuan Kepala Daerah dalam Melaksanakan Kebijakan Berperspektif Gender, termasuk dalam penanganan Pandemi Covid-19’, selama kurang lebih setengah jam, setelah pemaparan Ir. Agustina Erni, M.Sc, Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (Pembicara Pertama) dan Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, S.IP, MA, Tim Gender dan Poolitik LIPI (Pembicara kedua).
Acara webinar tersebut diadakan oleh Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) bekerja sama dengan LIPI Press.
Bupati pertama perempuan di NTB itu, menyampaikan terima kasih dan penghargaan, kepada Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) yang mengambil Kabupaten Bima sebagai salah satu lokasi penelitian, mengenai kebijakan politik perempuan kepala daerah dalam menanggulangi persoalan kemiskinan. 
Tentu saja akan motivasi kami, khsususnya kaum perempuan untuk terus berperan aktif meningkatkan kualitas diri dan peduli terhadap lingkungan. Perempuan merupakan agen vital  menurunkan angka  kemiskinan, tentunya perempuan harus terus berbenah dan belajar. Apalagi jika berkeinginan tampil sebagai politisi atau pun Kepala Daerah.
Dihadapan sejumlah narasumber, Bupati mengaku, bahwa Pemerintah Kabupaten Bima telah menerapkan 13 program bersama yang bersinergi dalam penangulangan kemiskinan juga meningkatkan mutu SDM. Program tersebut dibuat bersama 10 OPD di lingkup Pemkab Bima.
Menurut Bupati, 13 progam itu untuk 77 desa dari 191 desa yang ada. Kenapa? untuk memudahkan pengawasan dan pencapaian hasil, memudahkan evaluasi, monitoring sehingga mudah memahami karakteristik masalah dan manfaatnya.
‘’Dan untuk memberi peran yang seluas-luasnya kepada Perempuan,  Pemkab Bima sudah memulai melaksanakan Musrenbang khusus Perempuan,’’kata Umi Dinda.
Sedangkan untuk membantu masyarakat miskin terdampak Covid-19, lanjut Bupati, selain bantuan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi NTB, juga ada bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bima Ramah dari Pemkab Bima dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah Desa.
Sedangkan untuk memudahkan pelayanan terhadap masyarakat selama Pandemi Covid-19, Pemkab Bima menggunakan Aplikasi SIMAWAR dan pendataan online kasus Covid-19 melalui Aplikasi MADABIMA.
Dua aplikasi tersebut untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat dan perempuan, kaum disabilitas, pelayanan rapid test gratis bagi pelajar, mahasiswa dan para santri. (ProKom Setda Bima)



Jumat, 05 Januari 2018

Kisah Cinta Datu Museng & Maipa Deapati ( Daeng Nipati)


Kisah cinta Datu Museng & Maipa Deapati berawal dari Tanah Galesong. Galesong dulunya merupakan pusat Angkatan Laut kerajaan Gowa,telah merekrut pemuda dari berbagai daerah kekuasaan. Tersebutlah AdeArangan dari Kesultanan Sumbawa yang datang memperkuat  Angkatan Laut kerajaan Gowa di Galesong.  Ade Arangan kemudian kawin dengan gadis bangsawan Galesong hingga melahirkan beberapa orang anak, diantaranya Karaeng Gassing.

Anaknya Karaeng Gassing setelah dewasa kawin dengan gadis Galesong hingga membuahkan seorang anak bernama  I Baso Mallarangang, atau lebih dikenal dengn nama   Datu Museng.  Pada usia 3 tahun,  kedua orang tua Datu Museng dibunuh oleh pasukan Belanda.  Ade Arangan kemudian memelihara cucunya dan menyelamatkannya dengan membawa ke negeri kelahirannya di kesultanan Sumbawa.

Sampai di Sumbawa, Ade Arangan diterima baik oleh Sultan Sumbawa dan ia diberi tempat dan  lahan perkebunan. Datu Museng yang sudah memasuki usia kanak-kanak  disuruh mengaji di surau yang diasuh Kadi Mampawa. Disana ia bertemu  Maipa,  putri Sultan Sumbawa.

Setelah dewasa, di surau  tempat  Datu Museng menuntut ilmu melihat Maipa yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik  sedang bermain cincin. Cincin permatanya jatuh ke kolom rumah. Datu Museng kemudian cepat mengambilkan cincin Maipa di kolom rumah, kemudian keatas untuk memberikannya. Sebelum memberi, Datu Museng kemudian berkata”Cincinmu telah kucincin, aku tak kan memberikan bila tidak memperistrikanmu.   Dari situlah awal cinta Datu Museng – Maipa mulai merajut.

Cinta kedua sejoli ini terhalang, karena ternyata Maipa  sudah dijodohkan dengan orangtuanya sejak masih kecil dengan pria bangsawan Lombok  bernama Mangalasa. Mangalasa yang sudah dewasa sering ke Sumbawa dan melihat Maipa sudah tidak cinta padanya,tapi sudah beralih ke Datu Museng. Ini membuat Mangalasa marah.

Dalam kondisi demikian,  Kakek Ade Arangan menyarankan kepada  Datu Museng agar pergi ke negeri Arab menuntut Ilmu Sufi  serta ke Madina untuk mencari ilmu Bunga Ejana Madina.Dengan kedua ilmu ini, Datu Musneg bisa mejadi seorang sufi atau ulama juga bisa menjadi seorang ksatria dan menjadi dambaan setiap wanita. Sementara Maipa yang ditinggal Datu Museng terus mengurung diri dalam kamar. Ia ingin bertemu Datu Museng.

Singkat cerita,setelah  Datu Museng kembali dari negeri Arab, lengkap sudahlah ilmunya.  Di istana kesultanan, diadakan pertandingan permainan raga dengan mengundang pemuda yang ada di pelosok. Tujuannya  untuk menghibur tuan putri Maipa  agar keluar dari kamarnya.

            Dari sekian banyak pemuda yang memainkan raga, tak satupun yang mampu mermainkan raga dengan baik. Kemudian tampil I Mangalasa,  permainannyapun sama. Sultan Sumbawa kemudian minta I Mangalasa untuk memberikan  raga itu pada Datu Museng. Setelah Datu  mendapatkan bola raga itu, pertamanya ia sering salah-salah, karena pikirnnya selalu tertuju pada Maipa. Namun setelah kakek AdeArangan berteriak, “perbaiki permainanmu datu Museng” teriakan itu didengar oleh Maipa,hingga Maipa beranjak  keluar dari kamarnya. Setelah melihat sekilas wajah  Maipa, Datu Museng kemudian bangkit semangatnya dan mempermainkan bola raga dengan piawai.

Walau Maipa hanya sebentar menampakkan wajahnya di jendela,  dan ia kembali ke kamarnya, tapi hati Datu Museng sudah terobati. Terakhir bola itu kemudian ditendang setinggi-tingginya keatas langit, kemudian jatuh diatas bumbungan istana, lalu menggelinding ke jendela bola itu terus berguling masuk ke kamar Maipa hingga naik dipembaringannya, membuat Maipa jatuh sakit.

Sakitnya Maipa membuat Sultan Sumbawa   makin gelisah.Sudah banyak dukun yang didatangkan  namun tak satupun bisa mengobati sakinya tuan putri. Atas petunjuk seorang ahli nujum,  tuan putri ini bisa sembuh,kalau didatangkan pemuda yang   sering disebut dalam tidurnya , Pemuda  yang sering disebut adalah Datu Museng.

Karena Sultan sayang pada putrinya, maka iapun memanggil Datu Museng. Datu Museng  maka iapun memanggil Datu Museng. Datu Museng yang datang ke istana itu disambut ala raja.Setelah mesuk ke pembaringan tuan putri,iapun menyuruh  semua orang untuk keluar kamar. Maipa yang menyebut nama datu langsung berkata, “Aku Datu Museng,  kami sudah ada di dekatmu”  setelah diobati, mata tuan putri perlahan-pahan terbuka, akhirnya ia melihat wajah Datu Museng. Dari situlah penyakit Tuan putri  sudah sembuh.Namun untuk sembuh totalnya, Datu Museng menyarankan, agar pada bulan purnama, turun mandi di sungai yang ada di dekat istana.Namun jangan kaget, kalau disaat bencana  akan tiba, yakni angin topan disertai hujan lebat membuat perkampungan porakporanda, aku ada dibelakangmu  dan aku akan membawamu lari. Setelah itu  Datu Museng dan Maipa keluar kamar.  Kedua orang tuanya sangat gembira karena putrinya sudah sembuh ,Ia kemudian memberitahu, bahwa ia disuruh mandi di sungai pada malam bulan purnama.

Ketika tiba bukan purnama. Maipa kemudian turun ke sungai diantar oleh dayang-dayang dan pengawal istana, tiba-tiba  bencana angin topan datang disertai hujan deras membuat para dayang-dayang terlempar kena angin. Tak ajal, tuan putripun ikut terlempar, tapi cepat ditangkap Datu Museng untuk selanjutnya dibawah lari ke rumahnya.

Peristiwa hilangnya tuan putri itu membuat hati  kedua orang tuanya semakin sedih. Ia kmudian mencari kesana kemari,  tak diketahui kemana rimbanya. Terakhir terdengar kabar bahwa Maipa ada di rumah Datu Museng.

Para pengawal yang disuruh ke rumah Datu Museng meminta supaya Maipa dikembalikan, namun  Maipa tak mau, karena ia sudah  kawin lari dengan Datu Museng,kecuali kalau perkawinannya direstui oleh kedua orang tuanya. Dari sekian banyak pengawal yang meminta paksa Maipa pulang tak satupun yang bisa berhasil, karena   ia dihadang oleh kakek yang memiliki  pedang sakit Lila Buajaya (lidah buaya).

Kemudian tiba gilirang I Mangalasa mendatangi rumah Datu Museng untuk minta secara paksa agar Maipa pulang keistana. Kedatangannya disertai Tubarani dari Lombok. Ketika pasukan Mangalasa menyerang rumah Datu Museng,ia dihadang oleh kakeknya  Ade Arangan, kemudian Mangalasa  berduel satu lawan satu dengan Datu Museng.  Keris Datu Museng bernama Mattonjong Gadinna terkenal sakti hingga membuat Mangalasa tak berdaya. Keris pusaka itu kemudian melengket di dada  Mangalasa, hingga membuat ia tak bisa berkutik, namun Datu tak membunuhnya, karena sudah minta ampun.

Kekalahan pasukan Mangalasa kemudian dilaporkan pada Sultan Sumbawa Dato Taliwang.  Dato Taliwang kemudian menjawab, bagaimana mungkin kamu bisa diambil menantu, kalau menghadapi  dua orang saja tidak bisa,  apa lagi menghadapi rakyat banyak, Dengan alasan itulah, pinangan Mangalasa ditolak dan sebaliknya Sultan memanggil Datu Museng dan Maipa untuk merestui pernikahannya.
Setelah jadi suami istri, Datu Museng kemduian dinobatkan sebagai Panglima Perang di Sumbawa. Beberapa bulan kemudian terdengar kabar di negeri leluhurnya di Galesong, tentara Belanda membunuh banyak  keluarganya, hingga membuat hatinya terpangil pergi keneger  ileluhur membela keluarganya.Ia  dan isterinya Maipa berlayar ke Mangkasara dan mendarat di Pantai Losari. Kedatangan  Datu dan istrinya dimata-matai oleh tentara belanda hingga ia ketahuan. Sementara Tumalompoa (Belanda) yang ingin melenyapkan Datu Museng dan merebut istrinya Maipa. Ia kemudian memperalat Daeng Jarre juga Datu Jereweh untuk memata-matainya.

Tumalompoa kemudian merekrut  para tubarani, diantaranya Karaeng Galesong untuk menumpas pemberontakan Datu Museng, namun selalu kalah. Terakhir Tumalompoa mendatangkan pasukan secara besar-besaran . Dalam kondisi terjepit,  Datu Museng kemudian menghampiri istrinya Maipa dan menanyakan, apa permintaan terakhirmu, sebab musuh  sudah mengepung kita dan sebentar lagi kita akan mati.

Maipa kemudian menjawab, “saya lebih suka mati di tangan suamiku daripada kulit saya disentuh oleh Tumalompoa, apa lagi dijadikan aku sebagai istrinya”, lalu apa maumu.? , Tanya Datu. “ Aku lebih suka mati ditanganmu Datu dengan kerismu dari pada aku jatuh dipelukan  Tumalompoa”. “Maipa..! teriak Datu.

Ketika musuh sudah mendakat,  Maipa kemudian minta agar Datu segera  melaksanakan permintaannya dengan  mengelus keris di lehernya hingga menemui ajalnya. Sebelum permintaan itu  dikabulkan, Datu Museng sempat berpesan. “Kalau adinda sudah jalan duluan menghadap Ilahi, kalau saya tak menyusul di waktu duhur, tunggu di waktu ashar, tapi kalau tak ada di waktu ashar, pasti saya datang menemuiamu di waktu magrib”. Sertelah itu Datu kemudian melaksanakan permintaannya dengan menusuk leher Maipa hingga menemui ajalnya. Setelah itu, mayat Maipa  didudukkan di ruang tengah.

Ketika pasukan Belanda mendekati rumah Datu Museng,  banyak pasukan Datu Museng mati tertembak. Disaat  memasuki waktu duhur, Datu Museng masih  sempat melawan, demikian juga di waktu asar, tetapi ketika memasuki waktu Magrib,walau Datu Museng  masih bisa melawan, tetapi janjinya pada Maipa  Deapati sudah sampai dan ia segera menyusul. Apa lagi ia sudah melihat bayangan Maipa di ufuk barat sudah melambai-lambai, maka ia memasrahkan dirinya pada  Karaeng Galesong untuk membunuhnya.

Ketika melihat  Datu Museng sudah terbunuh,Karaeng Galesong kemdian segera berlari masuk  ruang tengah,dan didapatinya Maipa sedang duduk, Iapun memboyong Maipa keluar dan menaruhnya diatas kereta kuda Tuan Malompoa. Tumalompoa  yang bersorak ria merayakan kemenangan,  lalu naik kereta kuda duduk dekat Maipa.  Disaat kereta  kuda itu berlari diatas jalan berbatuan, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kucuran  darah Maipa membasahi baju Tumalompoa. Kondisi ini  membuat Tumalompoa marah. Ia merasa ditipu oleh Karaeng Galesong, maka Tumalompoa kemudian memerintahkan pada pasukan Belanda untuk membunuh Karaeng Galesong hingga akhirnya  Karaeng Galesong  mati di tempat itu juga.....

Senin, 01 Mei 2017

HARDIKNAS ITU BUKANLAH UPACARA BENDERA

2 Mei adalah diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ironisnya, dunia pendidikan bukannya semakin berkualitas, justru yang terjadi "kedaruratan nasional." darurat moral, hukum, narkoba, tramadol, dan lain sebagainya yang telah merusaki  kualitas dan martabat pendidikan,".
Setidaknya hari pendidikan Nasional menjadi sebuah refleksi bahwa kita saat ini terhimpit dalam pelik strata kasta manusia. Masih terjebak lingkup hitam membuai mata. Anak muda bingung kemana mereka harus membawa dirinya karena mereka sudah terjebak dalam sistem industri yang semakin mengaga, pola pikirnya hanya lahir, sekolah, bekerja, mati,  dan sistem hiduppun berpatok pada materi.
Kita ingin pendidikan benar_benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.
Jika pada tanggal 1 Mei (May Day) banyak "BURUH" yang memperingati dengan melakukan aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, maka apa yang kita lakukan sebagai insan pendidikan pada hari ini? Apakah peringatan Hardiknas hanya berupa perayaan yang bersifat seremonial dan hanya dihiasi oleh upacara semata?
Dari tahun ke tahun kegiatan rutinitas dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) selalu berulang hanya begitu-begitu saja dengan orasi normatif tanpa memberikan solusi yang nyata dan ide-ide bagi pencerahan kemajuan pendidikan. Padahal misalnya kegiatan yang lebih produktif  bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bima yakni :
1) PEMDA dapat memanfaatkan hardiknas itu sebagai momentum untuk mengukur capaian target tahunan pendidikan dengan cara meminta laporan progress dan hambatan yang dihadapi pada masing_masing tupoksi dari para pihak yang diberi tugas mengelola pendidikan seperti kepala sekolah, pengawas, kepala UPTD DIKBUDPORA, KADIS DIKBUDPORA, para pejabat eselon dinas Dikbudpora
2) Kepala Daerah dapat  mengumumkan hasil yang telah dicapai yang belum, dan akan dicapai kedepan berdasarkan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
3) Kepala Daerah seharusnya bisa menjelaskan tentang peluang, tantangan, hambatan, dan keunggulan daerah dalam mengelola pendidikan , baik tentang SDM pendidikan, alat pendidikan, sarana prasarana pendidikan, lingkungan sosial pendidikan, potensi siswa, dukungan keuangan dari APBD/APBN, dan kebijakan_kebijakan strategis pendidikan
4) Kepala Daerah dapat mengumumkan para pihak pengelola pendidikan yang berprestasi untuk diberikan reward sebagai penghargaan sekaligus motivasi kerja bagi yang lain
5) Kepala Daerah harus berani reallise daftar nama/satuan tugas yang tidak memenuhi target dan harus tegas memberi "punishment" kepada mereka sebagai motivasi kerja sehingga para pihak tersebut dapat meningkatkan kinerja mereka.
Beberapa hal yang diurai di atas merupakan masukan bagi pemerintah daerah dalam hal memanfaatkan Hardiknas sebagai sesuatu yang bermakna bagi perbaikan pendidikan kita agar 2 Mei tidak dilewati dengan  kegiatan mengganti tema upacara saja,
penampilan perlente seperti borjuasi imut_imut dari para pembina upacara yang berlaga bak orator ulung di atas podium yang tidak lebih dari sekadar menggugurkan kewajiban dalam melewati hari sakral tersebut. Hardiknas yang sejatinya adalah momentum untuk introspeksi diri tentang sejauh mana kita (seluruh elemen masyarakat) telah berkiprah dalam mengemban amanat,tugas dan tanggung jawab dalam melayani dan memenuhi hak dasar para anak bangsa dalam menerima pendidikan. Karena ‘’Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Hal ini bermakna bahwa anak-anak yang tidak terdidik di Negeri ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang hidup di Republik ini’’.
Sejalan dengan ini, Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang pemikirannya menjadi benih bertumbuhnya pendidikan Indonesia. Beliau mengumandangkan pemikirannya tentang pendidikan Indonesia, yaitu Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani, dan menerapkannya dalam sekolah Taman Siswa. Inisiatif tersebut menjadi awal bentuk reformasi pendidikan di Indonesia.
Jika Ki Hajar Dewantara berfokus pada pendidikan yang berbasiskan pada guru, maka tokoh pendidikan Indonesia lainnya, yaitu Moh. Syafei menggagas pendidikan keterampilan yang sarat dengan praktek melalui pendirian pusat pendidikan INS Kayu Tanam di Sumatera Barat, yang kemudian menjadi dasar pengembangan sekolah vokasi dan kejuruan di Indonesia. Nampaknya hari pendidikan nasional menjadi otokritik tersendiri bagi semua kalangan negeri ini. Kita setuju bahwa salah satu pihak yang harus dievaluasi kinerjanya adalah pemerintah/pemerintah daerah sebagai penyedia layanan pendidikan, penanggungjawab mutu pendidikan,pemilik otoritas atas penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai pemilik modal dari jasa layanan pendidikan harus dapat memberikan jawaban atas kondisi pendidikn yg belum mencerdaskan di DAERAH ini

Jumat, 10 Juni 2016

Kampus dan pabrikasi budaya bisu

Paulo Freire pernah memaparkan suatu kondisi kemanusiaan yang ditudingnya sebagai latar belakang terjadinya penindasan: budaya bisu. Jika hendak didefinisikan, budaya bisu adalah perihal yang tercipta melalui hasil hubungan struktural antara yang mendominasi dan yang didominasi. Dari hubungan tersebut, yang mendominasi  memberi pengaruh terhadap yang didominasi. Sehingga tercipta kondisi membisu terhadap yang didominasi: bungkam terhadap ketimpangan sosial, tak berani mengkritik tirani, apatis terhadap situasi penindasan.
Budaya bisu sendiri bisa tercipta melalui apa yang Althusser sebut sebagai Ideological State Aparatus(ISA) dan Represive State Apparatuse (RSA). Melalui ISA, orang-orang dibuat bisu dengan cara yang hegemonik dan ideologis: memanipulasi kesadaran orang-orang melalui tindak persuasi dan indoktrinasi agar mengakui status quo, dan merasa tak perlu melakukan kritik dan perlawanan karena menganggap situasi seolah baik-baik saja. Orang-orang akhirnya menjadi pasif dan aktivitasnya hanyalah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Biasanya kondisi demikian dicipta oleh penguasa (yang mendominasi) melalui sekolah, institusi negara dan media massa. Sedangkan melalui RSA, orang-orang dibuat diam dengan paksaan. Yang melawan dan melanggar sistem akan ditindak dengan keras. Biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer.
Syahdan, apa hubungannya antara kampus dan budaya bisu? Kampus jika mau dibilang, adalah satu dari sekian banyak aparatus ideologis negara (ISA) yang banyak berperan  dalam pabrikasi budaya bisu. Kampus yang sekiranya wadah lahirnya generasi kritis melalui pergulatan diskursus, terkadang melintasi tapal batas idealismenya. Sekarang kampus justru seringkali menjadi ruang pencetak mahasiswa-mahasiswa yang membisu.
Kampus tengah dililit dengan kondisi kultural yang membunuh hasrat kritis mahasiswa. Akhirnya mahasiswa kerap berada dalam posisi terdominasi oleh kampus, sehingga dari situ, mahasiswa dibuat jinak dan bungkam.
Kondisi pem-bisu-an mahasiswa oleh kampus bukanlah barang baru. Di tahun 1978 –untuk menyebut satu contoh—pernah tercipta situasi demikian. Dengan diberlakukannya NKK/BKK, mahasiswa semakin mendapat kontrol yang ketat oleh pihak birokrasi. Potensi kritis lembaga kemahasiswaan perlahan dibabat habis. Ruang gerak mahasiswa terbatasi. Meskipun era tersebut telah berlalu, namun evolusi barunya kian nampak dalam bentuk yang lain, dan semakin menginjeksi kebudayaan bisu di tengah-tengah kehidupan  mahasiswa.
Ada banyak penyebab mahasiswa berada dalam kondisi kebisuan?
Pertama, mahalnya biaya kuliah membuat mahasiswa selalu berpikir instan; berpikir untuk cepat selesai agar biaya kuliah tidak telalu lama menjadi beban. Maka dari sini kebanyakan mahasiswa enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat akademiknya compang-camping. Seperti aktif dalam organisasi kemahasiswaan, demonstrasi, melakukan kritik sistematis pada kebijakan yang mengekang, dst.
Kedua, bila ada yang melawan sistem maka skorsing, bahkan drop out adalah konsekuensinya. Ancaman tersebut adalah sebuah sikap birokrasi kampus dalam membungkam mahasiswa. Maka wajar-wajar saja bila kebanyakan mahasiswa terjerat krisis militansi. kebanyakan memilih diam ketimbang berkoar, oleh karena tak mampu menerima konsekuensi tersebut.
Ketiga, mahasiswa seolah tak diberi kesempatan untuk berpetualang mengembangkan potensi kritisnya melalui kajian ilmiah, membaca buku-buku pemikiran dan berorganisasi. Sebab, hari-harinya disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, serta jadwal kuliah yang padat. Aktivitas tersebut terus berulang dan berulang setiap harinya, membuat mahasiswa terbiasa dengan kondisi tersebut. Karena telah terbiasa, akhirnya membuat mahasiswa hanya menganggap aktivitas sejatinya hanyalah kuliah dan kerja tugas. Sehingga bila mereka diperhadapkan dengan kerja-kerja kebudayaan seperti itu, hanya dianggap sebagai perihal yang asing dan tidak penting.
Keempat, di dalam ruang perkuliahan, tak ada aktivitas pemantik sikap kritis mahasiswa. Dosen yang sekiranya sebagai subjek yang memberi stimulus bagi mahasiswa agar lebih kritis, ternyata selalu tak demikian. Kebanyakan dosen hanya mengajarkan mata kuliah untuk sekadar kebutuhan kerja, seolah mahasiswa direduksi hanya sebatas mahluk pekerja. Sementara memperkenalkan  dengan kritis kondisi sosial, politik dan budaya, serta mengintegrasikannya dengan mata kuliah,  jarang dilakukan oleh dosen. Sehingga dari sini, mahasiswa tak terbiasa melakukan refleksi kritis, dan hanya menerima begitu saja segenap wacana yang disampaikan oleh para dosen.
Kelima, merebaknya hedonisme dan budaya popular membuat kebanyakan mahasiswa cenderung lebih memperhatikan mode, ketimbang membangkitkan kualitas intelektualnya. Sekarang mahasiswa lebih gemar menghabiskan waktunya di mall, di diskotik, ketimbang ikut serta pada forum-forum diskusi. Hal tersebut relatif berpengaruh. Mahasiswa akhirnya cenderung tidak kritis, sebab aktivitas demikian dianggap tidak memberi tawaran hidup yang nyaman, menyenangkan, dan tidak populis.
Tentu situasi di atas sangat mengkhawatirkan. Mahasiswa terancam dipisahkan dari tradisi kritik dan bersuara, akibat ditekuk oleh situasi-situasi pem-bisu-an tersebut.  Meskipun kita tahu, dari berjuta-juta mahasiswa, masih ada beberapa antaranya yang berani berkoar di hadapan tirani, dan turut serta dalam menyelesaikan permasalahan soasial. Namun mereka hanyalah butiran kecil di antara banyaknya mahasiswa yang di bentuk oleh tradisi kampus yang mengekang  minoritas.
Jika kebanyakan mahasiswa sudah bukan lagi perwakilan suara orang-orang yang tertindas, apa pula yang bisa dibanggakan? Sekiranya mahasiswa adalah—meminjam istilah Gramsci—kaum intelektual organik. Sebagai intelektual organik, mahasiswa tak hanya dipahami sebagai ilmuwan, tapi juga sebagai cerdik pandai yang memahami bahwa pengetahuan sebagai medio kritik dan perubahan sosial.  Maka tak ada gunanya mengenyam pendidikan tinggi, ketika ilmu pengetahuan yang diperoleh hanya berhenti di jagat teoritik, dan tidak diturunkan dalam bentuk aksi. Pada sisi itu, mashasiswa hanya sekadar ilmuan, bukan agen of change.

Senin, 25 April 2016

Pelambatan Ekonomi : Peresiden, Birokrat, Investor

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM-PT) NTB di koran Lombok Post beberapa hari lalu menceritakan bagaimana kerja kerasnya meningkatkan iklim investasi di NTB. Agar tercapai target investasi sebesar 7,5 triliun di akhir tahun 2015 sesuai target pemerintah. Investasi sebesar itu harus dipenuhi untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah NTB 5,85 persen tahun ini.

Beberapa hari berikutnya di koran Lombok Post ini juga Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi NTB 3,75 persen. Ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,67 persen. Pemerintah menyebutkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi diakibatkan faktor eksternal. “Kita perlu meningkatkan produktivitas, investasi, serta meningkatkan anggaran pemerintah untuk pembangunan, sehingga memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi,” statemen resmi pemerintah.

Memang benar, membangun ekonomi (daerah/negara) tidak segampang seperti yang diajarkan di bangku kuliah lewat teori-teori yang ditulis dalam text book ekonomi. Tapi satu hal yang sangat penting adalah perlunya merencanakan target-target indikator yang akan dicapai menjadi lebih realistis. Artinya kenyataan tidak berbeda jauh dengan fakta yang dicapai. Angka-angka yang dipatok pengambil kebijakan yang selanjutnya dibukukan menjadi kitab “RPJMN/D” sering tidak memenuhi target karena kegagalan kolektif kita. Utamanya para birokrat dalam menyusun rencana dan asumsi-asumsi yang menyertainya. Akibatnya seringkali, paling tidak dalam tahun ini, pemerintah mengubah asumsi pokok APBN dan saya kira perlu juga dilakukan pada level daerah, NTB misalnya.

Inisiatif pemerintah daerah dalam membangun dan menawarkan peluang-peluang investasi, baik bagi para investor sangat lamban dan hanya menjadi pernyataan berulang-ulang yang kita baca di koran dan kita saksikan di TV. Kita sering membaca pernyataan di Lombok Post bahwa pemerintah terus berusaha menyediakan kemudahan perizinan bagi investor dan membenahi iklim investasi di daerah tapi regulasi dan perangkatnya belum kelar-kelar. Ini mungkin karena tenaga pemerintah daerah banyak terkuras dengan mengurusi politik terkait pilkada.

Tapi satu hal yang perlu dipastikan adalah target-target indikator ekonomi yang dijanjikan pemerintah adalah akad yang diikat oleh perda (aturan tertinggi di level daerah). Kalau pertumbuhan ekonomi tidak tercapai maka rentetan janji-janji yang lainnya seperti memenuhi target tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,62 persen dan angka kemiskinan menjadi 15,25 persen akan menjadi janji-janji saja.

Sistem Birokrasi yang Masih Buruk

Tiga hari lalu (8 Agustus 2015) di Balai Kartini Jakarta saya diundang menghadiri dan mendengarkan secara seksama pidato Presiden Joko Widodo dalam acara yang dihadiri sebagian besar pimpinan lembaga tinggi negara. Yang menarik lagi Presiden Jokowi mengajak hampir semua menteri bidang ekonomi. Tampak hadir Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Kepala Bappenas Andrinof Chaniago. Ada pula Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengeluhkan sistem birokrasi yang masih buruk. Saya mencatat pernyataan presiden saat itu “Urusan perizinan, urusan izin bangun rumah, bangun kantor, hingga membangun kawasan, membangun usaha, masyarakat inginnya cepat tapi harus memberikan sesuatu agar urusan cepat beres.” Selanjutnya presiden mengatakan “Pantaslah kalau muncul gugatan, sudah benar-benarkah kita melaksanakan Pancasila, yang harus diamalkan dalam keseharian kita.”

Kemudian Presiden Jokowi mengatakan saat ini pemerintah terus berupaya memperbaiki kelemahan pada sistem birokrasi agar para investor dalam negeri dan investor luar negeri yang “dikejar” Presiden Jokowi hingga ke negeri China akhir tahun lalu segera datang dengan uangnya.

Presiden juga berharap sistem birokrasi yang melayani segera dapat dirasakan masyarakat. Di akhir pidatonya presiden mengatakan “Sebagai presiden, saya mengerti harapan dan kekesalan masyarakat, maka dari itu, saya minta agar birokrasi kita cepat bergegas, berbagai hambatan harus dibuka.”

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan presiden. Birokrasi hanyalah salah satu komponen saja. Dan saya melihat birokrasi kita tidak seburuk apa yang dikatakan presiden. Keberhasilan pencapaian target pemerintah juga sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik dengan investor yang baik dan didukung penuh oleh masyarakat yang mengerti hak-hak dan tugasnya. Etos kerja dan produktivitas kita secara kolektif juga sangat menentukan.

Pengalaman sebagai Ketua Harian KAPET

Pengalaman saya sebagai Ketua Harian Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) NTB – dimana gubernur menjadi ketua ex officio – yang tugas utamanya berhubungan dengan investor menunjukkan beberapa hal. Pertama, banyak sekali izin penanaman modal yang dikeluarkan tapi tidak berjalan kegiatannya dan banyak kegiatan investasi yang mangkrak padahal sudah melakukan MoU.

Ada kerja sama pemerintah daerah dengan pihak investor tidak berjalan dengan baik. Investor tersebut tidak serius melakukan penanaman modal di daerahnya. Selanjutnya ditemukan banyak sekali investor yang hanya memberikan janji saja dan di sisi lain ada juga investor yang mendapatkan keuntungan yang besar tapi memberikan kontribusi yang kecil bagi daerah.

Masalah lain adalah investor yang sudah diterima menjadi mitra mengalami kendala karena keuangannya sangat terbatas. Ini terjadi karena pemerintah daerah salah memilih mitra bagi pembangunan daerah. Investor yang menjadi mitra pemerintah daerah tersebut terpilih karena tidak melakukan cek dan analisa.

Oleh karena itu birokrat yang terkait dengan investasi perlu mengenali calon investor yang menjadi mitra bagi pemerintah daerah. Mulai dari melihat profil perusahaan, latar belakang, pengalaman proyek bidang yang sama ditangani, kejelasan kantor, dan bisa juga dilakukan cek fisik ke kantor bersangkutan untuk melihat secara jelas aktivitasnya.

Selanjutnya mengenali kemampuan keuangan yang baik adalah mutlak dan penting bagi investor. Pastinya investor memiliki sumber keuangan yang jelas dan umumnya mendapatkan kepercayaan kredit dari bank lokal maupun bank asing. Jika ini dimiliki oleh investor, maka hal tersebut adalah salah satu syarat menjadi mitra bagi daerah.

Dalam kenyataannya, investor yang tepat pastinya memiliki reputasi yang baik, seperti pernah menjalin kerja sama dengan suatu daerah puluhan tahun dan tidak terjadi permasalahan (blacklist). Mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah lain bahwa investor tersebut memiliki reputasi yang baik. Pengalaman investor mendapatkan pengakuan dari badan atau perusahaan di dalam negeri maupun luar negeri. Pastinya ini bisa menjadi pertimbangan. Bisa juga kita melihat dan melakukan cek kepada BKPM Pusat apakah investor tersebut ada dalam negative list investor.

Yang harus diperhatikan juga adalah kedekatan antara investor dan pemerintah daerah secara terbuka menjadi faktor kunci dalam berinvestasi di daerah. Masing-masing dapat mengenal serta memiliki satu tujuan yang saling menguntungkan (bukan saling menguntungkan pribadi penguasa dan investor), sehingga tidak ada praktek korupsi kepada pihak investor. Pemerintah daerah bukan melihat investor sebagai objek sehingga investor dapat melakukan kegiatannya secara profesional dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Sehingga timbul kedekatan dan kepercayaan masing-masing.

Yang lebih penting lagi, setelah bersusah payah mencari investor dengan berbagai misi investasi dalam dan luar negeri pemerintah daerah harus memperbaiki administrasi pencatatan investasi. Yang terjadi mungkin hingga saat ini adalah, pemerintah daerah tidak memiliki pencatatan yang jelas besarnya investasi yang terjadi di wilayahnya, terjadinya tumpang tindih catatan angka angka investasi daerah kabupaten kota dan provinsi, tercampur aduknya realisasisai investasi dan rencana investasi, dan yang paling parah adalah ditemukan data realisasi investasi di suatu kabupaten di NTB tapi tidak ditemukan faktanya di lapangan.

Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan dengan serius oleh birokrat kita dari pusat hingga kabupaten/kota maka kekhawatiran Presiden Jokowi tentang buruknya birokrat kita akan menjadi kenyataan penyebab rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun ini, di samping faktor eksternal yang disebutkan di atas.

Selanjutnya angka-angka target indikator ekonomi dan sosial dalam dokumen rencana pembangunan yang dijilid tebal memenuhi meja-meja dan lemari birokrat kita serta dipaparklan di berbagai kesempatan dan kita baca di koran serta disaksikan di TV dan media sosial lainnya hanya akan menjadi hiasan di atas kertas dan terhenti pada rapat-rapat pemerintah. Dokumen-dokumen yang dalam proses penyelesaiannya menghabiskan ratusan juta uang rakyat itu akan dianggap masyarakat sebagai sekadar pencitraan. Wallahualam bisawab! (*)

DR. Iwan Harsono