Paulo Freire pernah memaparkan suatu kondisi kemanusiaan yang ditudingnya sebagai latar belakang terjadinya penindasan: budaya bisu. Jika hendak didefinisikan, budaya bisu adalah perihal yang tercipta melalui hasil hubungan struktural antara yang mendominasi dan yang didominasi. Dari hubungan tersebut, yang mendominasi memberi pengaruh terhadap yang didominasi. Sehingga tercipta kondisi membisu terhadap yang didominasi: bungkam terhadap ketimpangan sosial, tak berani mengkritik tirani, apatis terhadap situasi penindasan.
Budaya bisu sendiri bisa tercipta melalui apa yang Althusser sebut sebagai Ideological State Aparatus(ISA) dan Represive State Apparatuse (RSA). Melalui ISA, orang-orang dibuat bisu dengan cara yang hegemonik dan ideologis: memanipulasi kesadaran orang-orang melalui tindak persuasi dan indoktrinasi agar mengakui status quo, dan merasa tak perlu melakukan kritik dan perlawanan karena menganggap situasi seolah baik-baik saja. Orang-orang akhirnya menjadi pasif dan aktivitasnya hanyalah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Biasanya kondisi demikian dicipta oleh penguasa (yang mendominasi) melalui sekolah, institusi negara dan media massa. Sedangkan melalui RSA, orang-orang dibuat diam dengan paksaan. Yang melawan dan melanggar sistem akan ditindak dengan keras. Biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer.
Syahdan, apa hubungannya antara kampus dan budaya bisu? Kampus jika mau dibilang, adalah satu dari sekian banyak aparatus ideologis negara (ISA) yang banyak berperan dalam pabrikasi budaya bisu. Kampus yang sekiranya wadah lahirnya generasi kritis melalui pergulatan diskursus, terkadang melintasi tapal batas idealismenya. Sekarang kampus justru seringkali menjadi ruang pencetak mahasiswa-mahasiswa yang membisu.
Kampus tengah dililit dengan kondisi kultural yang membunuh hasrat kritis mahasiswa. Akhirnya mahasiswa kerap berada dalam posisi terdominasi oleh kampus, sehingga dari situ, mahasiswa dibuat jinak dan bungkam.
Kondisi pem-bisu-an mahasiswa oleh kampus bukanlah barang baru. Di tahun 1978 –untuk menyebut satu contoh—pernah tercipta situasi demikian. Dengan diberlakukannya NKK/BKK, mahasiswa semakin mendapat kontrol yang ketat oleh pihak birokrasi. Potensi kritis lembaga kemahasiswaan perlahan dibabat habis. Ruang gerak mahasiswa terbatasi. Meskipun era tersebut telah berlalu, namun evolusi barunya kian nampak dalam bentuk yang lain, dan semakin menginjeksi kebudayaan bisu di tengah-tengah kehidupan mahasiswa.
Ada banyak penyebab mahasiswa berada dalam kondisi kebisuan?
Pertama, mahalnya biaya kuliah membuat mahasiswa selalu berpikir instan; berpikir untuk cepat selesai agar biaya kuliah tidak telalu lama menjadi beban. Maka dari sini kebanyakan mahasiswa enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat akademiknya compang-camping. Seperti aktif dalam organisasi kemahasiswaan, demonstrasi, melakukan kritik sistematis pada kebijakan yang mengekang, dst.
Kedua, bila ada yang melawan sistem maka skorsing, bahkan drop out adalah konsekuensinya. Ancaman tersebut adalah sebuah sikap birokrasi kampus dalam membungkam mahasiswa. Maka wajar-wajar saja bila kebanyakan mahasiswa terjerat krisis militansi. kebanyakan memilih diam ketimbang berkoar, oleh karena tak mampu menerima konsekuensi tersebut.
Ketiga, mahasiswa seolah tak diberi kesempatan untuk berpetualang mengembangkan potensi kritisnya melalui kajian ilmiah, membaca buku-buku pemikiran dan berorganisasi. Sebab, hari-harinya disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, serta jadwal kuliah yang padat. Aktivitas tersebut terus berulang dan berulang setiap harinya, membuat mahasiswa terbiasa dengan kondisi tersebut. Karena telah terbiasa, akhirnya membuat mahasiswa hanya menganggap aktivitas sejatinya hanyalah kuliah dan kerja tugas. Sehingga bila mereka diperhadapkan dengan kerja-kerja kebudayaan seperti itu, hanya dianggap sebagai perihal yang asing dan tidak penting.
Keempat, di dalam ruang perkuliahan, tak ada aktivitas pemantik sikap kritis mahasiswa. Dosen yang sekiranya sebagai subjek yang memberi stimulus bagi mahasiswa agar lebih kritis, ternyata selalu tak demikian. Kebanyakan dosen hanya mengajarkan mata kuliah untuk sekadar kebutuhan kerja, seolah mahasiswa direduksi hanya sebatas mahluk pekerja. Sementara memperkenalkan dengan kritis kondisi sosial, politik dan budaya, serta mengintegrasikannya dengan mata kuliah, jarang dilakukan oleh dosen. Sehingga dari sini, mahasiswa tak terbiasa melakukan refleksi kritis, dan hanya menerima begitu saja segenap wacana yang disampaikan oleh para dosen.
Kelima, merebaknya hedonisme dan budaya popular membuat kebanyakan mahasiswa cenderung lebih memperhatikan mode, ketimbang membangkitkan kualitas intelektualnya. Sekarang mahasiswa lebih gemar menghabiskan waktunya di mall, di diskotik, ketimbang ikut serta pada forum-forum diskusi. Hal tersebut relatif berpengaruh. Mahasiswa akhirnya cenderung tidak kritis, sebab aktivitas demikian dianggap tidak memberi tawaran hidup yang nyaman, menyenangkan, dan tidak populis.
Tentu situasi di atas sangat mengkhawatirkan. Mahasiswa terancam dipisahkan dari tradisi kritik dan bersuara, akibat ditekuk oleh situasi-situasi pem-bisu-an tersebut. Meskipun kita tahu, dari berjuta-juta mahasiswa, masih ada beberapa antaranya yang berani berkoar di hadapan tirani, dan turut serta dalam menyelesaikan permasalahan soasial. Namun mereka hanyalah butiran kecil di antara banyaknya mahasiswa yang di bentuk oleh tradisi kampus yang mengekang minoritas.
Jika kebanyakan mahasiswa sudah bukan lagi perwakilan suara orang-orang yang tertindas, apa pula yang bisa dibanggakan? Sekiranya mahasiswa adalah—meminjam istilah Gramsci—kaum intelektual organik. Sebagai intelektual organik, mahasiswa tak hanya dipahami sebagai ilmuwan, tapi juga sebagai cerdik pandai yang memahami bahwa pengetahuan sebagai medio kritik dan perubahan sosial. Maka tak ada gunanya mengenyam pendidikan tinggi, ketika ilmu pengetahuan yang diperoleh hanya berhenti di jagat teoritik, dan tidak diturunkan dalam bentuk aksi. Pada sisi itu, mashasiswa hanya sekadar ilmuan, bukan agen of change.