Jumat, 10 Juni 2016

Kampus dan pabrikasi budaya bisu

Paulo Freire pernah memaparkan suatu kondisi kemanusiaan yang ditudingnya sebagai latar belakang terjadinya penindasan: budaya bisu. Jika hendak didefinisikan, budaya bisu adalah perihal yang tercipta melalui hasil hubungan struktural antara yang mendominasi dan yang didominasi. Dari hubungan tersebut, yang mendominasi  memberi pengaruh terhadap yang didominasi. Sehingga tercipta kondisi membisu terhadap yang didominasi: bungkam terhadap ketimpangan sosial, tak berani mengkritik tirani, apatis terhadap situasi penindasan.
Budaya bisu sendiri bisa tercipta melalui apa yang Althusser sebut sebagai Ideological State Aparatus(ISA) dan Represive State Apparatuse (RSA). Melalui ISA, orang-orang dibuat bisu dengan cara yang hegemonik dan ideologis: memanipulasi kesadaran orang-orang melalui tindak persuasi dan indoktrinasi agar mengakui status quo, dan merasa tak perlu melakukan kritik dan perlawanan karena menganggap situasi seolah baik-baik saja. Orang-orang akhirnya menjadi pasif dan aktivitasnya hanyalah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Biasanya kondisi demikian dicipta oleh penguasa (yang mendominasi) melalui sekolah, institusi negara dan media massa. Sedangkan melalui RSA, orang-orang dibuat diam dengan paksaan. Yang melawan dan melanggar sistem akan ditindak dengan keras. Biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer.
Syahdan, apa hubungannya antara kampus dan budaya bisu? Kampus jika mau dibilang, adalah satu dari sekian banyak aparatus ideologis negara (ISA) yang banyak berperan  dalam pabrikasi budaya bisu. Kampus yang sekiranya wadah lahirnya generasi kritis melalui pergulatan diskursus, terkadang melintasi tapal batas idealismenya. Sekarang kampus justru seringkali menjadi ruang pencetak mahasiswa-mahasiswa yang membisu.
Kampus tengah dililit dengan kondisi kultural yang membunuh hasrat kritis mahasiswa. Akhirnya mahasiswa kerap berada dalam posisi terdominasi oleh kampus, sehingga dari situ, mahasiswa dibuat jinak dan bungkam.
Kondisi pem-bisu-an mahasiswa oleh kampus bukanlah barang baru. Di tahun 1978 –untuk menyebut satu contoh—pernah tercipta situasi demikian. Dengan diberlakukannya NKK/BKK, mahasiswa semakin mendapat kontrol yang ketat oleh pihak birokrasi. Potensi kritis lembaga kemahasiswaan perlahan dibabat habis. Ruang gerak mahasiswa terbatasi. Meskipun era tersebut telah berlalu, namun evolusi barunya kian nampak dalam bentuk yang lain, dan semakin menginjeksi kebudayaan bisu di tengah-tengah kehidupan  mahasiswa.
Ada banyak penyebab mahasiswa berada dalam kondisi kebisuan?
Pertama, mahalnya biaya kuliah membuat mahasiswa selalu berpikir instan; berpikir untuk cepat selesai agar biaya kuliah tidak telalu lama menjadi beban. Maka dari sini kebanyakan mahasiswa enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat akademiknya compang-camping. Seperti aktif dalam organisasi kemahasiswaan, demonstrasi, melakukan kritik sistematis pada kebijakan yang mengekang, dst.
Kedua, bila ada yang melawan sistem maka skorsing, bahkan drop out adalah konsekuensinya. Ancaman tersebut adalah sebuah sikap birokrasi kampus dalam membungkam mahasiswa. Maka wajar-wajar saja bila kebanyakan mahasiswa terjerat krisis militansi. kebanyakan memilih diam ketimbang berkoar, oleh karena tak mampu menerima konsekuensi tersebut.
Ketiga, mahasiswa seolah tak diberi kesempatan untuk berpetualang mengembangkan potensi kritisnya melalui kajian ilmiah, membaca buku-buku pemikiran dan berorganisasi. Sebab, hari-harinya disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, serta jadwal kuliah yang padat. Aktivitas tersebut terus berulang dan berulang setiap harinya, membuat mahasiswa terbiasa dengan kondisi tersebut. Karena telah terbiasa, akhirnya membuat mahasiswa hanya menganggap aktivitas sejatinya hanyalah kuliah dan kerja tugas. Sehingga bila mereka diperhadapkan dengan kerja-kerja kebudayaan seperti itu, hanya dianggap sebagai perihal yang asing dan tidak penting.
Keempat, di dalam ruang perkuliahan, tak ada aktivitas pemantik sikap kritis mahasiswa. Dosen yang sekiranya sebagai subjek yang memberi stimulus bagi mahasiswa agar lebih kritis, ternyata selalu tak demikian. Kebanyakan dosen hanya mengajarkan mata kuliah untuk sekadar kebutuhan kerja, seolah mahasiswa direduksi hanya sebatas mahluk pekerja. Sementara memperkenalkan  dengan kritis kondisi sosial, politik dan budaya, serta mengintegrasikannya dengan mata kuliah,  jarang dilakukan oleh dosen. Sehingga dari sini, mahasiswa tak terbiasa melakukan refleksi kritis, dan hanya menerima begitu saja segenap wacana yang disampaikan oleh para dosen.
Kelima, merebaknya hedonisme dan budaya popular membuat kebanyakan mahasiswa cenderung lebih memperhatikan mode, ketimbang membangkitkan kualitas intelektualnya. Sekarang mahasiswa lebih gemar menghabiskan waktunya di mall, di diskotik, ketimbang ikut serta pada forum-forum diskusi. Hal tersebut relatif berpengaruh. Mahasiswa akhirnya cenderung tidak kritis, sebab aktivitas demikian dianggap tidak memberi tawaran hidup yang nyaman, menyenangkan, dan tidak populis.
Tentu situasi di atas sangat mengkhawatirkan. Mahasiswa terancam dipisahkan dari tradisi kritik dan bersuara, akibat ditekuk oleh situasi-situasi pem-bisu-an tersebut.  Meskipun kita tahu, dari berjuta-juta mahasiswa, masih ada beberapa antaranya yang berani berkoar di hadapan tirani, dan turut serta dalam menyelesaikan permasalahan soasial. Namun mereka hanyalah butiran kecil di antara banyaknya mahasiswa yang di bentuk oleh tradisi kampus yang mengekang  minoritas.
Jika kebanyakan mahasiswa sudah bukan lagi perwakilan suara orang-orang yang tertindas, apa pula yang bisa dibanggakan? Sekiranya mahasiswa adalah—meminjam istilah Gramsci—kaum intelektual organik. Sebagai intelektual organik, mahasiswa tak hanya dipahami sebagai ilmuwan, tapi juga sebagai cerdik pandai yang memahami bahwa pengetahuan sebagai medio kritik dan perubahan sosial.  Maka tak ada gunanya mengenyam pendidikan tinggi, ketika ilmu pengetahuan yang diperoleh hanya berhenti di jagat teoritik, dan tidak diturunkan dalam bentuk aksi. Pada sisi itu, mashasiswa hanya sekadar ilmuan, bukan agen of change.

Senin, 25 April 2016

Pelambatan Ekonomi : Peresiden, Birokrat, Investor

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM-PT) NTB di koran Lombok Post beberapa hari lalu menceritakan bagaimana kerja kerasnya meningkatkan iklim investasi di NTB. Agar tercapai target investasi sebesar 7,5 triliun di akhir tahun 2015 sesuai target pemerintah. Investasi sebesar itu harus dipenuhi untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah NTB 5,85 persen tahun ini.

Beberapa hari berikutnya di koran Lombok Post ini juga Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi NTB 3,75 persen. Ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,67 persen. Pemerintah menyebutkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi diakibatkan faktor eksternal. “Kita perlu meningkatkan produktivitas, investasi, serta meningkatkan anggaran pemerintah untuk pembangunan, sehingga memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi,” statemen resmi pemerintah.

Memang benar, membangun ekonomi (daerah/negara) tidak segampang seperti yang diajarkan di bangku kuliah lewat teori-teori yang ditulis dalam text book ekonomi. Tapi satu hal yang sangat penting adalah perlunya merencanakan target-target indikator yang akan dicapai menjadi lebih realistis. Artinya kenyataan tidak berbeda jauh dengan fakta yang dicapai. Angka-angka yang dipatok pengambil kebijakan yang selanjutnya dibukukan menjadi kitab “RPJMN/D” sering tidak memenuhi target karena kegagalan kolektif kita. Utamanya para birokrat dalam menyusun rencana dan asumsi-asumsi yang menyertainya. Akibatnya seringkali, paling tidak dalam tahun ini, pemerintah mengubah asumsi pokok APBN dan saya kira perlu juga dilakukan pada level daerah, NTB misalnya.

Inisiatif pemerintah daerah dalam membangun dan menawarkan peluang-peluang investasi, baik bagi para investor sangat lamban dan hanya menjadi pernyataan berulang-ulang yang kita baca di koran dan kita saksikan di TV. Kita sering membaca pernyataan di Lombok Post bahwa pemerintah terus berusaha menyediakan kemudahan perizinan bagi investor dan membenahi iklim investasi di daerah tapi regulasi dan perangkatnya belum kelar-kelar. Ini mungkin karena tenaga pemerintah daerah banyak terkuras dengan mengurusi politik terkait pilkada.

Tapi satu hal yang perlu dipastikan adalah target-target indikator ekonomi yang dijanjikan pemerintah adalah akad yang diikat oleh perda (aturan tertinggi di level daerah). Kalau pertumbuhan ekonomi tidak tercapai maka rentetan janji-janji yang lainnya seperti memenuhi target tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,62 persen dan angka kemiskinan menjadi 15,25 persen akan menjadi janji-janji saja.

Sistem Birokrasi yang Masih Buruk

Tiga hari lalu (8 Agustus 2015) di Balai Kartini Jakarta saya diundang menghadiri dan mendengarkan secara seksama pidato Presiden Joko Widodo dalam acara yang dihadiri sebagian besar pimpinan lembaga tinggi negara. Yang menarik lagi Presiden Jokowi mengajak hampir semua menteri bidang ekonomi. Tampak hadir Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Kepala Bappenas Andrinof Chaniago. Ada pula Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengeluhkan sistem birokrasi yang masih buruk. Saya mencatat pernyataan presiden saat itu “Urusan perizinan, urusan izin bangun rumah, bangun kantor, hingga membangun kawasan, membangun usaha, masyarakat inginnya cepat tapi harus memberikan sesuatu agar urusan cepat beres.” Selanjutnya presiden mengatakan “Pantaslah kalau muncul gugatan, sudah benar-benarkah kita melaksanakan Pancasila, yang harus diamalkan dalam keseharian kita.”

Kemudian Presiden Jokowi mengatakan saat ini pemerintah terus berupaya memperbaiki kelemahan pada sistem birokrasi agar para investor dalam negeri dan investor luar negeri yang “dikejar” Presiden Jokowi hingga ke negeri China akhir tahun lalu segera datang dengan uangnya.

Presiden juga berharap sistem birokrasi yang melayani segera dapat dirasakan masyarakat. Di akhir pidatonya presiden mengatakan “Sebagai presiden, saya mengerti harapan dan kekesalan masyarakat, maka dari itu, saya minta agar birokrasi kita cepat bergegas, berbagai hambatan harus dibuka.”

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan presiden. Birokrasi hanyalah salah satu komponen saja. Dan saya melihat birokrasi kita tidak seburuk apa yang dikatakan presiden. Keberhasilan pencapaian target pemerintah juga sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik dengan investor yang baik dan didukung penuh oleh masyarakat yang mengerti hak-hak dan tugasnya. Etos kerja dan produktivitas kita secara kolektif juga sangat menentukan.

Pengalaman sebagai Ketua Harian KAPET

Pengalaman saya sebagai Ketua Harian Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) NTB – dimana gubernur menjadi ketua ex officio – yang tugas utamanya berhubungan dengan investor menunjukkan beberapa hal. Pertama, banyak sekali izin penanaman modal yang dikeluarkan tapi tidak berjalan kegiatannya dan banyak kegiatan investasi yang mangkrak padahal sudah melakukan MoU.

Ada kerja sama pemerintah daerah dengan pihak investor tidak berjalan dengan baik. Investor tersebut tidak serius melakukan penanaman modal di daerahnya. Selanjutnya ditemukan banyak sekali investor yang hanya memberikan janji saja dan di sisi lain ada juga investor yang mendapatkan keuntungan yang besar tapi memberikan kontribusi yang kecil bagi daerah.

Masalah lain adalah investor yang sudah diterima menjadi mitra mengalami kendala karena keuangannya sangat terbatas. Ini terjadi karena pemerintah daerah salah memilih mitra bagi pembangunan daerah. Investor yang menjadi mitra pemerintah daerah tersebut terpilih karena tidak melakukan cek dan analisa.

Oleh karena itu birokrat yang terkait dengan investasi perlu mengenali calon investor yang menjadi mitra bagi pemerintah daerah. Mulai dari melihat profil perusahaan, latar belakang, pengalaman proyek bidang yang sama ditangani, kejelasan kantor, dan bisa juga dilakukan cek fisik ke kantor bersangkutan untuk melihat secara jelas aktivitasnya.

Selanjutnya mengenali kemampuan keuangan yang baik adalah mutlak dan penting bagi investor. Pastinya investor memiliki sumber keuangan yang jelas dan umumnya mendapatkan kepercayaan kredit dari bank lokal maupun bank asing. Jika ini dimiliki oleh investor, maka hal tersebut adalah salah satu syarat menjadi mitra bagi daerah.

Dalam kenyataannya, investor yang tepat pastinya memiliki reputasi yang baik, seperti pernah menjalin kerja sama dengan suatu daerah puluhan tahun dan tidak terjadi permasalahan (blacklist). Mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah lain bahwa investor tersebut memiliki reputasi yang baik. Pengalaman investor mendapatkan pengakuan dari badan atau perusahaan di dalam negeri maupun luar negeri. Pastinya ini bisa menjadi pertimbangan. Bisa juga kita melihat dan melakukan cek kepada BKPM Pusat apakah investor tersebut ada dalam negative list investor.

Yang harus diperhatikan juga adalah kedekatan antara investor dan pemerintah daerah secara terbuka menjadi faktor kunci dalam berinvestasi di daerah. Masing-masing dapat mengenal serta memiliki satu tujuan yang saling menguntungkan (bukan saling menguntungkan pribadi penguasa dan investor), sehingga tidak ada praktek korupsi kepada pihak investor. Pemerintah daerah bukan melihat investor sebagai objek sehingga investor dapat melakukan kegiatannya secara profesional dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Sehingga timbul kedekatan dan kepercayaan masing-masing.

Yang lebih penting lagi, setelah bersusah payah mencari investor dengan berbagai misi investasi dalam dan luar negeri pemerintah daerah harus memperbaiki administrasi pencatatan investasi. Yang terjadi mungkin hingga saat ini adalah, pemerintah daerah tidak memiliki pencatatan yang jelas besarnya investasi yang terjadi di wilayahnya, terjadinya tumpang tindih catatan angka angka investasi daerah kabupaten kota dan provinsi, tercampur aduknya realisasisai investasi dan rencana investasi, dan yang paling parah adalah ditemukan data realisasi investasi di suatu kabupaten di NTB tapi tidak ditemukan faktanya di lapangan.

Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan dengan serius oleh birokrat kita dari pusat hingga kabupaten/kota maka kekhawatiran Presiden Jokowi tentang buruknya birokrat kita akan menjadi kenyataan penyebab rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun ini, di samping faktor eksternal yang disebutkan di atas.

Selanjutnya angka-angka target indikator ekonomi dan sosial dalam dokumen rencana pembangunan yang dijilid tebal memenuhi meja-meja dan lemari birokrat kita serta dipaparklan di berbagai kesempatan dan kita baca di koran serta disaksikan di TV dan media sosial lainnya hanya akan menjadi hiasan di atas kertas dan terhenti pada rapat-rapat pemerintah. Dokumen-dokumen yang dalam proses penyelesaiannya menghabiskan ratusan juta uang rakyat itu akan dianggap masyarakat sebagai sekadar pencitraan. Wallahualam bisawab! (*)

DR. Iwan Harsono