Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM-PT) NTB di koran Lombok Post beberapa hari lalu menceritakan bagaimana kerja kerasnya meningkatkan iklim investasi di NTB. Agar tercapai target investasi sebesar 7,5 triliun di akhir tahun 2015 sesuai target pemerintah. Investasi sebesar itu harus dipenuhi untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah NTB 5,85 persen tahun ini.
Beberapa hari berikutnya di koran Lombok Post ini juga Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi NTB 3,75 persen. Ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,67 persen. Pemerintah menyebutkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi diakibatkan faktor eksternal. “Kita perlu meningkatkan produktivitas, investasi, serta meningkatkan anggaran pemerintah untuk pembangunan, sehingga memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi,” statemen resmi pemerintah.
Memang benar, membangun ekonomi (daerah/negara) tidak segampang seperti yang diajarkan di bangku kuliah lewat teori-teori yang ditulis dalam text book ekonomi. Tapi satu hal yang sangat penting adalah perlunya merencanakan target-target indikator yang akan dicapai menjadi lebih realistis. Artinya kenyataan tidak berbeda jauh dengan fakta yang dicapai. Angka-angka yang dipatok pengambil kebijakan yang selanjutnya dibukukan menjadi kitab “RPJMN/D” sering tidak memenuhi target karena kegagalan kolektif kita. Utamanya para birokrat dalam menyusun rencana dan asumsi-asumsi yang menyertainya. Akibatnya seringkali, paling tidak dalam tahun ini, pemerintah mengubah asumsi pokok APBN dan saya kira perlu juga dilakukan pada level daerah, NTB misalnya.
Inisiatif pemerintah daerah dalam membangun dan menawarkan peluang-peluang investasi, baik bagi para investor sangat lamban dan hanya menjadi pernyataan berulang-ulang yang kita baca di koran dan kita saksikan di TV. Kita sering membaca pernyataan di Lombok Post bahwa pemerintah terus berusaha menyediakan kemudahan perizinan bagi investor dan membenahi iklim investasi di daerah tapi regulasi dan perangkatnya belum kelar-kelar. Ini mungkin karena tenaga pemerintah daerah banyak terkuras dengan mengurusi politik terkait pilkada.
Tapi satu hal yang perlu dipastikan adalah target-target indikator ekonomi yang dijanjikan pemerintah adalah akad yang diikat oleh perda (aturan tertinggi di level daerah). Kalau pertumbuhan ekonomi tidak tercapai maka rentetan janji-janji yang lainnya seperti memenuhi target tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,62 persen dan angka kemiskinan menjadi 15,25 persen akan menjadi janji-janji saja.
Sistem Birokrasi yang Masih Buruk
Tiga hari lalu (8 Agustus 2015) di Balai Kartini Jakarta saya diundang menghadiri dan mendengarkan secara seksama pidato Presiden Joko Widodo dalam acara yang dihadiri sebagian besar pimpinan lembaga tinggi negara. Yang menarik lagi Presiden Jokowi mengajak hampir semua menteri bidang ekonomi. Tampak hadir Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Kepala Bappenas Andrinof Chaniago. Ada pula Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengeluhkan sistem birokrasi yang masih buruk. Saya mencatat pernyataan presiden saat itu “Urusan perizinan, urusan izin bangun rumah, bangun kantor, hingga membangun kawasan, membangun usaha, masyarakat inginnya cepat tapi harus memberikan sesuatu agar urusan cepat beres.” Selanjutnya presiden mengatakan “Pantaslah kalau muncul gugatan, sudah benar-benarkah kita melaksanakan Pancasila, yang harus diamalkan dalam keseharian kita.”
Kemudian Presiden Jokowi mengatakan saat ini pemerintah terus berupaya memperbaiki kelemahan pada sistem birokrasi agar para investor dalam negeri dan investor luar negeri yang “dikejar” Presiden Jokowi hingga ke negeri China akhir tahun lalu segera datang dengan uangnya.
Presiden juga berharap sistem birokrasi yang melayani segera dapat dirasakan masyarakat. Di akhir pidatonya presiden mengatakan “Sebagai presiden, saya mengerti harapan dan kekesalan masyarakat, maka dari itu, saya minta agar birokrasi kita cepat bergegas, berbagai hambatan harus dibuka.”
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan presiden. Birokrasi hanyalah salah satu komponen saja. Dan saya melihat birokrasi kita tidak seburuk apa yang dikatakan presiden. Keberhasilan pencapaian target pemerintah juga sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik dengan investor yang baik dan didukung penuh oleh masyarakat yang mengerti hak-hak dan tugasnya. Etos kerja dan produktivitas kita secara kolektif juga sangat menentukan.
Pengalaman sebagai Ketua Harian KAPET
Pengalaman saya sebagai Ketua Harian Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) NTB – dimana gubernur menjadi ketua ex officio – yang tugas utamanya berhubungan dengan investor menunjukkan beberapa hal. Pertama, banyak sekali izin penanaman modal yang dikeluarkan tapi tidak berjalan kegiatannya dan banyak kegiatan investasi yang mangkrak padahal sudah melakukan MoU.
Ada kerja sama pemerintah daerah dengan pihak investor tidak berjalan dengan baik. Investor tersebut tidak serius melakukan penanaman modal di daerahnya. Selanjutnya ditemukan banyak sekali investor yang hanya memberikan janji saja dan di sisi lain ada juga investor yang mendapatkan keuntungan yang besar tapi memberikan kontribusi yang kecil bagi daerah.
Masalah lain adalah investor yang sudah diterima menjadi mitra mengalami kendala karena keuangannya sangat terbatas. Ini terjadi karena pemerintah daerah salah memilih mitra bagi pembangunan daerah. Investor yang menjadi mitra pemerintah daerah tersebut terpilih karena tidak melakukan cek dan analisa.
Oleh karena itu birokrat yang terkait dengan investasi perlu mengenali calon investor yang menjadi mitra bagi pemerintah daerah. Mulai dari melihat profil perusahaan, latar belakang, pengalaman proyek bidang yang sama ditangani, kejelasan kantor, dan bisa juga dilakukan cek fisik ke kantor bersangkutan untuk melihat secara jelas aktivitasnya.
Selanjutnya mengenali kemampuan keuangan yang baik adalah mutlak dan penting bagi investor. Pastinya investor memiliki sumber keuangan yang jelas dan umumnya mendapatkan kepercayaan kredit dari bank lokal maupun bank asing. Jika ini dimiliki oleh investor, maka hal tersebut adalah salah satu syarat menjadi mitra bagi daerah.
Dalam kenyataannya, investor yang tepat pastinya memiliki reputasi yang baik, seperti pernah menjalin kerja sama dengan suatu daerah puluhan tahun dan tidak terjadi permasalahan (blacklist). Mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah lain bahwa investor tersebut memiliki reputasi yang baik. Pengalaman investor mendapatkan pengakuan dari badan atau perusahaan di dalam negeri maupun luar negeri. Pastinya ini bisa menjadi pertimbangan. Bisa juga kita melihat dan melakukan cek kepada BKPM Pusat apakah investor tersebut ada dalam negative list investor.
Yang harus diperhatikan juga adalah kedekatan antara investor dan pemerintah daerah secara terbuka menjadi faktor kunci dalam berinvestasi di daerah. Masing-masing dapat mengenal serta memiliki satu tujuan yang saling menguntungkan (bukan saling menguntungkan pribadi penguasa dan investor), sehingga tidak ada praktek korupsi kepada pihak investor. Pemerintah daerah bukan melihat investor sebagai objek sehingga investor dapat melakukan kegiatannya secara profesional dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Sehingga timbul kedekatan dan kepercayaan masing-masing.
Yang lebih penting lagi, setelah bersusah payah mencari investor dengan berbagai misi investasi dalam dan luar negeri pemerintah daerah harus memperbaiki administrasi pencatatan investasi. Yang terjadi mungkin hingga saat ini adalah, pemerintah daerah tidak memiliki pencatatan yang jelas besarnya investasi yang terjadi di wilayahnya, terjadinya tumpang tindih catatan angka angka investasi daerah kabupaten kota dan provinsi, tercampur aduknya realisasisai investasi dan rencana investasi, dan yang paling parah adalah ditemukan data realisasi investasi di suatu kabupaten di NTB tapi tidak ditemukan faktanya di lapangan.
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan dengan serius oleh birokrat kita dari pusat hingga kabupaten/kota maka kekhawatiran Presiden Jokowi tentang buruknya birokrat kita akan menjadi kenyataan penyebab rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun ini, di samping faktor eksternal yang disebutkan di atas.
Selanjutnya angka-angka target indikator ekonomi dan sosial dalam dokumen rencana pembangunan yang dijilid tebal memenuhi meja-meja dan lemari birokrat kita serta dipaparklan di berbagai kesempatan dan kita baca di koran serta disaksikan di TV dan media sosial lainnya hanya akan menjadi hiasan di atas kertas dan terhenti pada rapat-rapat pemerintah. Dokumen-dokumen yang dalam proses penyelesaiannya menghabiskan ratusan juta uang rakyat itu akan dianggap masyarakat sebagai sekadar pencitraan. Wallahualam bisawab! (*)
DR. Iwan Harsono