Matahari tengah terik-teriknya saat saya menyusuri jalan menuju rumah sejarawan Anhar Gonggong. Tepat di bilangan Pondok Gede, Bekasi saya kembali bertanya kepada bocah yang bermain di depan rumah yang terlihat berbeda dari deretan rumah yang lain.
Atap rumahnya menyerupai atap tongkonan, rumah adat Sulawesi Selatan. Melihatnya sama seperti berada di Kete Kesu, tempat wisata tongkonan tua di Tana Toraja.
“Betul ini rumah pak Anhar?” tanyaku. Iya betul kata bocah 8 tahun tersebut. Ia kemudian berlari masuk rumah. “Etta… etta ada yang cari”. Tak lama Anhar Gonggong keluar. Terlihat sudah sangat tua, namun terlihat masih bersemangat.
Tak hanya di luar, dalam rumah pun dipenuhi dengan penghias ruangan khas Makassar. Ada badik, parang panjang, dan beberapa miniatur pinisi dan tongkonan di ruang tamu. Sedang di ruang tangah, sesak dengan lemari-lemari yang menampung buku yang tak terhitung jumlahnya.
“Jadi apa yang bisa saya bantu,” tanya Anhar membuyarkan pengamatanku. “Bapak kapan terakhir ke Makassar?” Saya malah bertanya balik dan mengabaikan tanyanya.
“Saya sering ke Makassar, tapi hanya jika ada undangan,” jawabnya singkat.
Pria kelahiran Pinrang, 14 Agustus 1943 ini, mengaku tak pernah lagi mengunjungi tanah kelahirannya. Sedari dulu, pria 72 tahun ini memang tidak berniat untuk menetap di tanah kelahiran.
“Saya Bugis, saya lahir di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan itu bagian Indonesia juga kan? Saya lebih suka disebut warga Indonesia,” Anhar menegaskan.
Ia lalu bercerita tentang kakak dan kerabatnya yang selalu memintanya agar setelah ia menempuh pedidikan, ia kembali mengabdi di Sulawesi Selatan. “Dulu mereka selalu menginginkan saya jadi gubernur, tentu saya tidak tergiur. Jabatan bukanlah prioritas hidup saya.”
“Saya melihat di Makassar sangat sulit mendapatkan sebuah jabatan. Jadi, jangan heran jika pada saat menjabat para pejabat hanya berusaha menjaga jabatannya agar tidak lengser, bukan bekerja melayani masyarakatnya. Dan saya sangat menghindari hal tersebut,” kata Anhar.
Lelaki gondrong ini tiba-tiba tertawa saat membahas jabatan. Rupanya ia teringat dengan Walikota Makassar yang pada saat itu baru memegang jabatan. Dia mengganti semua perabot makan dari bahan kramik yang bernilai satu miliar.
“Saya geli, satu miliar itu banyak loh. Bisa bikin sekolah. Ngapain mengganti perabot makan dengan harga bombastis begitu? Apa manfaatnya buat rakyat? Saya geli sekaligus kesal,” lanjut Anhar.
Lantas apa penilaian Anda melihat kota Makassar?
“Rusak,” jawab Anhar singkat.
“Mahasiswa membakar kampusnya sendiri, mahasiswa saling serang, bahkan saling bunuh. Belum lagi saat ini geng motor yang ternyata dilakukan oleh segerombolan remaja. Inilah bukti kalau lembaga pendidikan di Makassar itu rusak,” lanjutnya.
Dari kacamatanya, sejarawan ini menilai akar masalah yang menjadi momok di Makassar itu pendidikan. “Terbukti anak muda, generasi sekarang salah menafsirkan siri’. Jujur ini sangat mengecewakan,” Anhar menegaskan.
“Siri’ itu menjaga kehormatan”.
Membakar kampus dan saling serang itu justru melanggar nilai siri’, lanjut Anhar. “Saya terkadang tertawa jika mendengar alasan mahasiswa saling serang, mereka kebanyakan beralasan ini untuk menjaga harga diri. ‘Masa mauki nakalah gang’. Lah kemenangan itu buat apa? Apa yang kau dapat dari perselisihan? Generasi macam apa ini?”
Di luar itu, bagaimana Anda melihat aktivis dan gerakan di Makassar?
“Mereka kebanyakan bertindak tanpa konsep. Khususnya pada mahasiswa. Apa kaitannya antara bakar ban dan bakar kampus dengan ide yang ingin disampaikan? Itu sama sekali tidak ada korelasinya. Saya teringat istilah pada Orde Baru, pada saat itu, aktivis disebut sebagai orang-orang dungu. Menyembunyikan kedunguan dibalik arogansi. Istilah Makassarnya, mauji dibilang. Aktivis sejatinya ialah mereka yang mengandalkan pikir. Dulu aktivis juga turun ke jalan tetapi memiliki konsep yang jelas, mereka juga melakukan kritikan lewat tulisan yang dipublikasikan di media”.
Intinya Makassar itu rusak. Inilah yang menjadi akar masalahnya. Bagaimana mungkin Anda bisa berkoar-koar #Makassar Tidak Kasar jika Anda sendiri yang menunjukkan sikap itu,” lanjut Anhar.
Apa pesan Anda untuk generasi muda Makassar?
“Belajarlah sejarah, pahamilah budaya. Sebab jika kehilangan keduanya, kau akan kehilangan bagian dari dirimu sendiri,” tutup Anhar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar