Rabu, 23 Desember 2015

Wijaya Herlambang Dalam Kenangan Pemuda Islam Kiri

BEBERAPA hari setelah kepergian Wijaya Herlambang, kawan Martin Suryajaya menuliskan obituari yang bertenaga dan tak biasa sebagaimana umumnya sebuah obituari. Di sana Martin membabarkan tugas maha berat bagi gerakan kiri untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Wijaya melalui karya terkenalnya “Kekerasan Budaya Pasca 1965”. Untuk hal ini kita semua—yang mengaku kiri—bersepakat dengan Martin. Begitupun dengan saya.
Artikel ini hanya ingin menambahi apa yang sudah dibicarakan Martin dengan kesan-kesan saya pribadi terhadap Wijaya dan karyanya. Jadi, secara umum, kita akan mendiskusikan hal penting dari karya Wijaya bagi wacana Islam Indonesia dan gerakan kiri yang harus diselesaikan bersama. Selebihnya, saya akan menyinggung sedikit percakapan saya dengan almarhum mengenai problem internal gerakan kiri sebelum Wijaya pergi.

Sumbangan Wijaya Herlambang Pada Politik Wacana Islam
Tiap kematian selalu memilukan. Tapi di sini kita tak hendak meratapi kepergian Wijaya dengan gerimis air mata. Kepergiannya bukanlah ucapan selamat tinggal dan tanda telah usainya sebuah perjalanan. Kepergiannya merupakan awal dimulainya sebuah perjalanan panjang bagi generasi sesudahnya. Sebuah pengembaraan membongkar lebih jauh dan lebih dalam tidak hanya tendensi politis kebudayaan liberal intelektual soska (sosialis kanan) PSI yang sudah-sudah, tapi juga mendiagnosa seluruh akibat yang ditimbulkannya: suburnya proyek toleransi yang menjadi alat penerimaan Kapital global yang mensubstitusi politik kelas dengan politik identitas; dilanggengkannya Marxisme sebagai musuh rakyat dan umat Islam Indonesia; dominasi seni apolitis warisan angkatan 45 dan kelompok Manikebu di Indonesia; hingga memudarnya visi sosialisme Indonesia yang dahulu menjadi arah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebagaimana Wiji Thukul, Marsinah, Munir dan siapapun pejuang rakyat, Wijaya Herlambang adalah sebuah nama dari perlawanan. Karena itu setiap upaya membongkar hipokrisi kebudayaan liberal di Indonesia sesungguhnya ia adalah Wijaya Herlambang. Di tengah merebaknya seni apolitis warisan angkatan 45 dan Manikebu dengan pekatnya komunisphobia, Wijaya Herlambang menjadi lembaran pertama dari sebuah kitab tak berujung yang akan terus digenapi. Wijaya telah meninggalkan karya yang siapapun tak bisa mengelak darinya jika hendak membincangkan politik kebudayaan pasca 65 di Indonesia. Arti penting karyanya, bagi kita, adalah kesanggupannya menguak praktik politik busuk intelektual PSI dan Manikebu yang melancarkan penghancuran kekuatan kiri anti kapitalisme di Indonesia dalam ranah kebudayaan. Ia telah menelanjangi seni yang mentahbiskan dirinya mengabdi untuk seni tersebut, yang ternyata justru mengabdi kepada kuasa Kapital global. Karya Wijaya tak pelak memberi jalan awal bagi kita, generasi sesudahnya, untuk meriset hubungan Humanisme Universal Manikebu dengan berbagai politik pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia hingga sekarang.
Kemudian apa arti penting karya Wijaya bagi wacana Islam? Secara keseluruhan Wijaya memang tidak sedang berbicara politik wacana Islam Indonesia yang selama ini didominasi dua kubu yang saling berhadap-hadapan: Islam Liberalis dan Islam Fundamentalis/Islam politik, dalam percaturan wacana Islam Indonesia. Namun dengan disinggungnya JIL[1] (Jaringan Islam Liberal) sebagai anak kandung dari proyek liberalisme di Indonesia, inilah yang memberi celah bagi generasi Islam pasca JIL untuk turut meramaikan perdebatan wacana Islam yang terlanjur diisi oleh dua kubu tersebut dimuka. Yakni dengan menambahkan perspektif ekonomi-politik yang selama ini diabaikan dalam perdebatan wacana Islam. Dalam arti inilah, Wijaya menjadi penting bagi politik wacana Islam.
Ia tidak hanya telah membuka mata publik yang awam mengenai duduk persoalan wacana Islam, tapi juga membongkar posisi politik JIL dan kaitannya dengan proyek neoliberalisme di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa membaca bahwa JIL yang merupakan bagian dari imperium kebudayaan liberal yang dibangun oleh Goenawan Muhamad, yang berada dalam naungan Komunitas Utan Kayu, dimana sebagian besar intelektual JIL juga bergiat di Salihara dan Freedom Institute. Kedua lembaga ini oleh Wijaya sendiri disebut sebagai lembaga sampah,[2] karena telah menjadi bagian dari kepanjangan tangan kekerasan budaya dan tentakel gurita kapitalisme global di Indonesia.
Karena itu, kepada lembaga-lembaga yang disebut Wijaya sebagai Lembaga sampah tersebut, kita tak perlu sungkan untuk mengatakan bahwa orang-orang yang ada di dalamnya sebagai ‘intelektual pemulung’, yang bekerja dengan memunguti remah-remah kapitalisme global melalui dana filantropi Barat yang luar biasa besar, yang dahulu juga dipakai oleh Congress for Cultural Freedom (CCF) dan CIA untuk menghancurkan kekuatan anti kapitalisme di Indonesia.[3] Intinya, Jika wacana Islam JIL beroperasi untuk memberi legitimasi teologis atas resepsi dan beroperasinya neoliberalisme, maka Freedom Institute adalah sebuah lembaga tink-tank yang menjadi corong utama neoLiberalisme di Indonesia. Di tangan mereka, wacana toleransi dan pluralisme menjadi proyek persenyawaan Islam dan Neoliberalisme. Di balik wacana merayakan keragaman tafsir atas Islam inilah, Islam hendak ditempatkan sebagai penyokong utama mesin kapitalisme global di Indonesia dengan menggiring publik Islam untuk mengafirmasi neoliberalisme, dengan jalan memanipulasi toleransi Islam sebagai resepsi atas pasar bebas di Indonesia.
Lebih jauh, sokongan dana organisasi filantropi kepada NGO yang dengan terang mendukung neoliberalisme semacam JIL, sesungguhnya mengambil pola yang tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Congress for Cultural Freedom (CCF) untuk mendakwahkan liberalisme ke seluruh penjuru dunia.[4] Jika waktu itu CCF menjadikan organisasi-organisasi semacam PSI, Gemsos dan GPI sebagai agen yang aktif, tak hanya mendakwahkan kebudayaan liberal, tetapi juga menjadi alat untuk melawan kebudayaan realisme sosialis yang diusung Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di bawah PKI dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di bawah PNI,[5] maka saat ini mereka memakai NGO yang mengusung wacana toleransi untuk menyusupkan liberalisme di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh JIL dan mungkin beberapa lainnya.
Sedemikian, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab intelektual Islam generasi pasca JIL untuk menjernihkan posisi teologis-historis maupun teoritis-politis, dengan mendudukkan ‘toleransi Islam’ sebagaimana mestinya, dan menyalakan kembali Api Islam yang telah dipadamkan mereka. Lebih-lebih ajaran toleransi merupakan konsep inheren dalam Islam tanpa perlu ditambahi adjective liberal.
Apa konsekuensinya jika kita hendak melanjutkan kerja teoritis dan praksis Wijaya Herlambang secara konsisten—sebagaimana dilanjutkan Martin—untuk membongkar kebudayaan liberal di Indonesia? Maka mau tak mau akan membawa kita semua untuk tak hanya mengungkap kedurjanaan politik imperium kebudayaan Liberal Goenawan Muhamad yang terang benderang menjadi agen CIA melalui CCF, tapi juga lembaga-lembaga lainnya di Indonesia pasca reformasi yang lahir dalam buaian kasih sayang organisasi filantropi internasional untuk melapangkan jalan neoliberalisme di Indonesia.
Tentu saja ini bukan kerja yang mudah. Sosiolog James Petras, melalui artikelnya, Imperialism and NGOs in Latin America,[6] melancarkan kritik keras atas ketergantungan elemen-elemen kiri di Amerika Latin yang mengkritik liberalisme namun hidup dari menyusu lembaga donor liberalisme yang dikritiknya. Ini tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Beberapa NGO di negeri ini bekerja hanya menitikberatkan kerjanya pada proyek pesanan donor sebagaimana JIL, ketimbang melakukan pembasisan menuju gerakan rakyat yang mandiri. Mereka tidak menggerakkan rakyat untuk berjuang demi mengontrol alat-alat produksi kekayaan dan membongkar kondisi-kondisi struktural yang menggilas kehidupan rakyat, tapi justru membuainya dengan mengadakan workshop toleransi yang jauh dari panas teriknya kehidupan rakyat yang digencet oleh kebijakan yang tak berpihak. Dan bukan rahasia lagi, di balik bahasa-bahasa progresifnya, yang biasa dipakai oleh gerakan kiri, kebanyakan NGO justru bekerja dengan pola sebaliknya dari gerakan kiri. Tentu saja ini tidak berlaku pada semua NGO. Karena, bagaimanapun juga NGO berjasa mendorong proses demokratisasi di Indonesia di masa dan pasca otoritarianisme. Kita bisa ambil contohnya: KontraS, LBH, Walhi dll. Namun, kita juga tak boleh tutup mata bahwa bantuan dana dari organisasi-organisasi filantropi yang berasal dari Eropa atau Amerika, membawa kepentingannya masing-masing melalui dana yang dikucurkannya. Mereka memakai NGO lokal sebagai mitra untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Ada yang memang sungguh-sungguh ingin membantu, tapi banyak pula yang memakai bantuannya sebagai jalan masuknya neoliberalisme.
Dengan demikian, Goenawan, Salihara, Freedom Institute, dan JIL sudah seharusnya dilihat sebagai eksemplar dari wajah neoliberalisme di Indonesia. Posisi politik mereka penting untuk dieksplisitkan agar perdebatan dimungkinkan. Juga demi meneguhkan wacana toleransi pasca Gus Dur dengan menapaki jalan terjal kerjasama sosial antar Iman (bukan hanya dialog antar iman), untuk melakukan kerja-kerja pembebasan bersama rakyat akar rumput dari berbagai problem struktural maupun kultural yang membelitnya. Persis seperti yang dilakukan oleh gerakan rakyat Kendeng di Rembang dan Pati melawan pabrik Semen, gerakan rakyat Urutsewu di Kebumen melawan militer dan perusahaan pengeruk pasir besi, gerakan rakyat Cigugur di Kuningan melawan proyek geothermal Chevron, serta gerakan rakyat Samarinda Menggugat di Samarinda melawan tambang batu bara dll. Mereka telah menunjukkan bahwa toleransi itu bisa tumbuh subur justru ketika toleransi itu tidak dibicarakan dalam ruang-ruang dingin workshop tapi dalam geliat perjuangan dan persaudaraan melawan ketidakadilan.
Tentu JIL akan mengelak dari berbagai kritik yang diarahkan kepadanya sebagai kritik yang berlebihan, sebagaimana tanggapan Novriantoni terhadap kritik Abdul Hakim di tahun 2007 lalu.[7] Namun, kenyataannya, mereka yang mendukung demokrasi liberal telah menutup mata pada fakta bahwa: demokrasi yang dibelanya seringkali dibangun di atas perang dan penghisapan terhadap kaum miskin, buruh dan petani. Disitulah posisi Goenawan, Salihara, Freedom Institute dan JIL berdiri.

persatuan
Tantangan Gerakan Kiri
Di tengah kepungan dominasi politik borjuis, kultur kelas menengah yang apolitis, diberlakukanya MEA, dan berbagai tantangan yang tengah dihadapi rakyat, gerakan kiri belum menunjukkan tanda-tanda ke arah penyatuan dirinya. Mereka masih berserak, bergerak sendiri-sendiri membangun kelompok-kelompok kecil yang satu dengan lainnya tak saling terhubung. Bahkan, kadang-kadang saling tuding dengan parade klaim paling benar (paling kiri) ketimbang lainnya.
Setidaknya ada empat tantangan utama gerakan kiri generasi kita: pertama, banyaknya perpecahan berbagai organisasi kiri yang seringkali disebabkan oleh perseteruan pribadi ketimbang perdebatan teroritik-ideologis. Dengan itu, tugas menyatukan gerakan kiri dalam satu Front, menjadi tanggung jawab bersama. Kedua, ketidakmampuan gerakan kiri keluar dari jeratan organisasi filantropi yang selama ini menyokong politik kebudayaan Goenawan cs yang terang benderang sebagai liberal. Problem inilah yang menyebabkan tak ada bedanya antara Goenawan sang ‘intelektual pemulung’ dengan intelektual kiri yang hidup dan tumbuh bersama rakyat. Tiadanya separasi antara Goenawan dan ‘kita’ membuat semakin runyamnya kerja teroritik dan praksis gerakan kiri. Bahkan, saya sering mendengar dari beberapa kawan aktivis yang mengatakan: “mau kiri mau kanan sumber duitnya sama saja dengan Goenawan”. Apakah cuma saya yang mendengar ini, saya tidak tahu. Bisa jadi saya salah dengar. Namun jika kita amati lebih jauh hancurnya kolektivitas dan solidaritas gerakan buruh dan tani pasca reformasi, tak lain dikarenakan hilangnya kemandirian dalam menjalankan program-program organisasi, seperti kekuatan dana organisasi dari iuran anggota yang sudah digantikan oleh proposal donor.[8] Jadi, organisasi-organisasi kiri yang seharusnya menjalankan iuran anggota secara konsisten sebagai sumber dana perjuangannya, sebagaimana dianjurkan oleh Semaoen dalam ‘Penuntun Kaum Buruh’, justru tidak diamalkannya. Ketiga, kedua kondisi ini membuat keterpaksaan aktivis kiri menjadi ksatria tak bertuan, seperti yang dikatakan Martin. Mereka bak Pendekar Rajawali Yoko, siap bertarung hidup-mati melawan intelektual-intelektual pemulung dan satpam-satpam Neolib. Kondisi ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kecuali kalau kita hendak membiarkan perjuangan gerakan kiri itu dipanggul oleh pendekar-pendekar heroik dengan kemampuan Ginkang yang tak terkalahkan—sebagaimana dalam dunia persilatan. Keempat, perlunya rekonsiliasi historis maupun teoritis antara Islam dan Marxisme di Indonesia pasca 65. Ini menjadi penting karena secara aksiologis keduanya memanggul tanggung jawab sejarah yang sama, yakni untuk mewujudkan kesetaraan (al-musawah) dan keadilan (al-adalah) di muka bumi dan berdiri di posisi yang sama: bersama proletariat.
Tentu saja masih banyak tantangan lainnya. Namun yang pasti kegagalan kita untuk bersatu akan makin memperlambat perjuangan rakyat yang ingin kita wujudkan, yang itu artinya kita tak menyumbang apa-apa selain makin suburnya percekcokan yang sampai ila yaumil qiyamah tak ada akhirnya. Sesulit dan sekeras apapun perbedaan berbagai faksi kiri, sebagaimana yang telah ditunjukkan Martin, tak seharusnya menghalangi kita untuk membangun partai politik bersama. Mungkin ini agak melankolik, tapi kalau boleh saya mengingatkan, sejatinya kita adalah ummatun wahidah (umat yang satu).

Akhir Kalam
Kembali kepada Wijaya. Dari karyanya dan cara pandangnya, kita jadi tahu sikap politiknya yang tak bisa ditawar. Inilah yang saya tangkap dari Wijaya Herlambang, sehingga problem logika apa dan bagaimana yang diungkapkan Martin perihal dukungannya terhadap Jokowi di waktu pemilu, susah diterima olehnya. Bahkan problembagaiamana visi politik emansipatoris kiri diinjeksikan dalam kebijakan politik apparatus negara (baca: menitipkan visi sosialis pada politisi borjuis) sebagai sebuah strategi politik, dilihat olehnya sebagai cara yang justru membuat makin tidak jelasnya mana yang kiri dan kanan di negeri ini, sebagaimana yang saya ulas di atas. Bahkan, ketika saya katakan padanya bahwa pilihan aktivis kiri menghidupi NGO sesungguhnya adalah startegi bagaimana visi politik kiri bisa disalurkan dengan politik dua tangan: satu tangan menengadah ke donor, satu tangan lainnya menimpuk dari belakang, ia anggap itu sebagai kesia-siaan belaka. Sambil berkelakar, kalau tak salah ingat, ia kurang lebih mengatakan: ‘ya, berarti makin jauh kita dari gerakan kiri. Ya tapi, tidak apa-apa ketimbang tidak sama sekali’. Yang kemudian saya timpali dengan bercanda: yang penting niatnya (innamal a’malu binniyat, perbuatan ditentukan oleh niat). Logika ini persis sama sebangun dengan kaedah fiqih: dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih(menolak/mencegah kerusakan didahulukan dari pada melakukan kebaikan). Sebuah perjuangan dengan standar minimal, karena kegagalan kita menyatukan berbagai faksi kiri, dan melakukan kerja pembasisan di akar rumput. Namun, terlepas dari berbagai perbedaan pandangan dalam gerakan kiri, ia sangat merindukan bersatunya gerakan kiri yang mampu memberi sumbagsih besar bagi rakyat.
Di luar karyanya. Wijaya Herlambang yang saya kenal —bukan bermaksud mengkultuskannya—jalan hidupnya jauh lebih sufistik ketimbang barisan kata-kata gelap yang dihimpun para penyair gelap Manikebuis, yang dari balik kegelapannya menyembunyikan dendam yang tak tertanggungkan kepada gerakan kiri, kepada buruh dan petani, kepada kelas pekerja. Mengenai karyanya ia sendiri berujar: saya hanya ingin menyumbang kecil saja. Namun kita tahu ia telah menyumbang banyak pada kita. Wallahua’lam. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar