Kamis, 31 Desember 2015

Mari Bung, Singkirkan Mendung Hitam itu!

Mendung itu, bergelayut di atas caping para petani, berlarian, peluh amarah membasahi sekujur badan, mereka dipaksa tinggalkan sawah ladang, tempat mereka hidup sejak nenek moyang.
Segumpal tanah basah mereka genggam di tangan, hanya itulah sisa-sisa kehidupan.
Mendung itu semakin kelam, menyelimuti kehidupan orang-orang miskin di perkotaan, dengan selembar kain lusuh mereka mengikatkan harapan.
Mendung itu semakin hitam, imperialisme, kapitalisme, liberalisme, menggantung di cakrawala, menyelimuti tanah air pusaka, Nusantara.
Filosofi, idiologi, undang-undang, aturan, partai politik, kekuasaan, media massa disulap sedemikian rupa, menjadi dasar dan perangkat utama, untuk melindungi kepentingannya.
Negara telah berganti rupa, warga bangsa tersingkir dari tanah airnya, dipaksa menjadi kuli di negeri sendiri.
Kedaulatan, kemandirian, kepribadian, kemakmuran, tergulung habis, disapu angin taupan, seakan tidak ada satupun kekuatan yang sanggup menahan.
Senja, tahun lama telah tertutup kelambu hitam, semua insan menanti semburat hangatnya sinar mentari pagi, membelah ufuk, menguak jendela kehidupan di tahun yang sesaat lagi akan datang.
Esok hari, kehidupan akan kembali dimulai, pertarungan demi pertarungan akan kita jalani, untuk meletakkan kembali pondasi masa depan bumi pertiwi ini.
Marilah, segera susun barisan dan satukan kekuatan kita, agar sinar terang menggantikan cakrawala hitam.
Asal bersatu dan percaya dengan kekuatan sendiri, kita pasti bisa!
Agar para petani kembali berseri-seri, menggarap tanah milik sendiri, hidup bersahaja di tanah air yang kita cintai.
Dan semua anak bangsa ini, kembali mengukir indahnya mimpi-mimpi, bergotong royong merajut kehidupan, hidup aman tenteram bersama handai taulan, tiada lagi kemiskinan serta penjajahan.
Indonesia, tanah air merdeka, rakyat makmur, negara aman sentosa, Indonesia mercusuar dunia.
Salam Gotong Royong
AGUS JABO, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Rabu, 30 Desember 2015

Anhar Gonggong : Makassar Salah Menafsirkan Siri’

Matahari tengah terik-teriknya saat saya menyusuri jalan menuju rumah sejarawan Anhar Gonggong. Tepat di bilangan Pondok Gede, Bekasi saya kembali bertanya kepada bocah yang bermain di depan rumah yang terlihat berbeda dari deretan rumah yang lain.
Atap rumahnya menyerupai atap tongkonan, rumah adat Sulawesi Selatan. Melihatnya sama seperti berada di Kete Kesu, tempat wisata tongkonan tua di Tana Toraja.
“Betul ini rumah pak Anhar?” tanyaku. Iya betul kata bocah 8 tahun tersebut. Ia kemudian berlari masuk rumah. “Etta… etta ada yang cari”. Tak lama Anhar Gonggong keluar. Terlihat sudah sangat tua, namun terlihat masih bersemangat.
Tak hanya di luar, dalam rumah pun dipenuhi dengan penghias ruangan khas Makassar. Ada badik, parang panjang, dan beberapa miniatur pinisi dan tongkonan di ruang tamu. Sedang di ruang tangah, sesak dengan lemari-lemari yang menampung buku yang tak terhitung jumlahnya.
“Jadi apa yang bisa saya bantu,” tanya Anhar membuyarkan pengamatanku. “Bapak kapan terakhir ke Makassar?” Saya malah bertanya balik dan mengabaikan tanyanya.
“Saya sering ke Makassar, tapi hanya jika ada undangan,” jawabnya singkat.
Pria kelahiran Pinrang, 14 Agustus 1943 ini, mengaku tak pernah lagi mengunjungi tanah kelahirannya. Sedari dulu, pria 72 tahun ini memang tidak berniat untuk menetap di tanah kelahiran.
“Saya Bugis, saya lahir di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan itu bagian Indonesia juga kan? Saya lebih suka disebut warga Indonesia,” Anhar menegaskan.
Ia lalu bercerita tentang kakak dan kerabatnya yang selalu memintanya agar setelah ia menempuh pedidikan, ia kembali mengabdi di Sulawesi Selatan. “Dulu mereka selalu menginginkan saya jadi gubernur, tentu saya tidak tergiur. Jabatan bukanlah prioritas hidup saya.”
“Saya melihat di Makassar sangat sulit mendapatkan sebuah jabatan. Jadi, jangan heran jika pada saat menjabat para pejabat hanya berusaha menjaga jabatannya agar tidak lengser, bukan bekerja melayani masyarakatnya. Dan saya sangat menghindari hal tersebut,” kata Anhar.
Lelaki gondrong ini tiba-tiba tertawa saat membahas jabatan. Rupanya ia teringat dengan Walikota Makassar yang pada saat itu baru memegang jabatan. Dia mengganti semua perabot makan dari bahan kramik yang bernilai satu miliar.
“Saya geli, satu miliar itu banyak loh. Bisa bikin sekolah. Ngapain mengganti perabot makan dengan harga bombastis begitu? Apa manfaatnya buat rakyat? Saya geli sekaligus kesal,” lanjut Anhar.
Lantas apa penilaian Anda melihat kota Makassar?
“Rusak,” jawab Anhar singkat.
“Mahasiswa membakar kampusnya sendiri, mahasiswa saling serang, bahkan saling bunuh. Belum lagi saat ini geng motor yang ternyata dilakukan oleh segerombolan remaja. Inilah bukti kalau lembaga pendidikan di Makassar itu rusak,” lanjutnya.
Dari kacamatanya, sejarawan ini menilai akar masalah yang menjadi momok di Makassar itu pendidikan. “Terbukti anak muda, generasi sekarang salah menafsirkan siri’. Jujur ini sangat mengecewakan,” Anhar menegaskan.
“Siri’ itu menjaga kehormatan”.
Membakar kampus dan saling serang itu justru melanggar nilai siri’, lanjut Anhar. “Saya terkadang tertawa jika mendengar alasan mahasiswa saling serang, mereka kebanyakan beralasan ini untuk menjaga harga diri. ‘Masa mauki nakalah gang’. Lah kemenangan itu buat apa? Apa yang kau dapat dari perselisihan? Generasi macam apa ini?”
Di luar itu, bagaimana Anda melihat aktivis dan gerakan di Makassar?
“Mereka kebanyakan bertindak tanpa konsep. Khususnya pada mahasiswa. Apa kaitannya antara bakar ban dan bakar kampus dengan ide yang ingin disampaikan? Itu sama sekali tidak ada korelasinya. Saya teringat istilah pada Orde Baru, pada saat itu, aktivis disebut sebagai orang-orang dungu. Menyembunyikan kedunguan dibalik arogansi. Istilah Makassarnya, mauji dibilang. Aktivis sejatinya ialah mereka yang mengandalkan pikir. Dulu aktivis juga turun ke jalan tetapi memiliki konsep yang jelas, mereka juga melakukan kritikan lewat tulisan yang dipublikasikan di media”.
Intinya Makassar itu rusak. Inilah yang menjadi akar masalahnya. Bagaimana mungkin Anda bisa berkoar-koar #Makassar Tidak Kasar jika Anda sendiri yang menunjukkan sikap itu,” lanjut Anhar.
Apa pesan Anda untuk generasi muda Makassar?
“Belajarlah sejarah, pahamilah budaya. Sebab jika kehilangan keduanya, kau akan kehilangan bagian dari dirimu sendiri,” tutup Anhar.

Rabu, 23 Desember 2015

Wijaya Herlambang Dalam Kenangan Pemuda Islam Kiri

BEBERAPA hari setelah kepergian Wijaya Herlambang, kawan Martin Suryajaya menuliskan obituari yang bertenaga dan tak biasa sebagaimana umumnya sebuah obituari. Di sana Martin membabarkan tugas maha berat bagi gerakan kiri untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Wijaya melalui karya terkenalnya “Kekerasan Budaya Pasca 1965”. Untuk hal ini kita semua—yang mengaku kiri—bersepakat dengan Martin. Begitupun dengan saya.
Artikel ini hanya ingin menambahi apa yang sudah dibicarakan Martin dengan kesan-kesan saya pribadi terhadap Wijaya dan karyanya. Jadi, secara umum, kita akan mendiskusikan hal penting dari karya Wijaya bagi wacana Islam Indonesia dan gerakan kiri yang harus diselesaikan bersama. Selebihnya, saya akan menyinggung sedikit percakapan saya dengan almarhum mengenai problem internal gerakan kiri sebelum Wijaya pergi.

Sumbangan Wijaya Herlambang Pada Politik Wacana Islam
Tiap kematian selalu memilukan. Tapi di sini kita tak hendak meratapi kepergian Wijaya dengan gerimis air mata. Kepergiannya bukanlah ucapan selamat tinggal dan tanda telah usainya sebuah perjalanan. Kepergiannya merupakan awal dimulainya sebuah perjalanan panjang bagi generasi sesudahnya. Sebuah pengembaraan membongkar lebih jauh dan lebih dalam tidak hanya tendensi politis kebudayaan liberal intelektual soska (sosialis kanan) PSI yang sudah-sudah, tapi juga mendiagnosa seluruh akibat yang ditimbulkannya: suburnya proyek toleransi yang menjadi alat penerimaan Kapital global yang mensubstitusi politik kelas dengan politik identitas; dilanggengkannya Marxisme sebagai musuh rakyat dan umat Islam Indonesia; dominasi seni apolitis warisan angkatan 45 dan kelompok Manikebu di Indonesia; hingga memudarnya visi sosialisme Indonesia yang dahulu menjadi arah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebagaimana Wiji Thukul, Marsinah, Munir dan siapapun pejuang rakyat, Wijaya Herlambang adalah sebuah nama dari perlawanan. Karena itu setiap upaya membongkar hipokrisi kebudayaan liberal di Indonesia sesungguhnya ia adalah Wijaya Herlambang. Di tengah merebaknya seni apolitis warisan angkatan 45 dan Manikebu dengan pekatnya komunisphobia, Wijaya Herlambang menjadi lembaran pertama dari sebuah kitab tak berujung yang akan terus digenapi. Wijaya telah meninggalkan karya yang siapapun tak bisa mengelak darinya jika hendak membincangkan politik kebudayaan pasca 65 di Indonesia. Arti penting karyanya, bagi kita, adalah kesanggupannya menguak praktik politik busuk intelektual PSI dan Manikebu yang melancarkan penghancuran kekuatan kiri anti kapitalisme di Indonesia dalam ranah kebudayaan. Ia telah menelanjangi seni yang mentahbiskan dirinya mengabdi untuk seni tersebut, yang ternyata justru mengabdi kepada kuasa Kapital global. Karya Wijaya tak pelak memberi jalan awal bagi kita, generasi sesudahnya, untuk meriset hubungan Humanisme Universal Manikebu dengan berbagai politik pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia hingga sekarang.
Kemudian apa arti penting karya Wijaya bagi wacana Islam? Secara keseluruhan Wijaya memang tidak sedang berbicara politik wacana Islam Indonesia yang selama ini didominasi dua kubu yang saling berhadap-hadapan: Islam Liberalis dan Islam Fundamentalis/Islam politik, dalam percaturan wacana Islam Indonesia. Namun dengan disinggungnya JIL[1] (Jaringan Islam Liberal) sebagai anak kandung dari proyek liberalisme di Indonesia, inilah yang memberi celah bagi generasi Islam pasca JIL untuk turut meramaikan perdebatan wacana Islam yang terlanjur diisi oleh dua kubu tersebut dimuka. Yakni dengan menambahkan perspektif ekonomi-politik yang selama ini diabaikan dalam perdebatan wacana Islam. Dalam arti inilah, Wijaya menjadi penting bagi politik wacana Islam.
Ia tidak hanya telah membuka mata publik yang awam mengenai duduk persoalan wacana Islam, tapi juga membongkar posisi politik JIL dan kaitannya dengan proyek neoliberalisme di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa membaca bahwa JIL yang merupakan bagian dari imperium kebudayaan liberal yang dibangun oleh Goenawan Muhamad, yang berada dalam naungan Komunitas Utan Kayu, dimana sebagian besar intelektual JIL juga bergiat di Salihara dan Freedom Institute. Kedua lembaga ini oleh Wijaya sendiri disebut sebagai lembaga sampah,[2] karena telah menjadi bagian dari kepanjangan tangan kekerasan budaya dan tentakel gurita kapitalisme global di Indonesia.
Karena itu, kepada lembaga-lembaga yang disebut Wijaya sebagai Lembaga sampah tersebut, kita tak perlu sungkan untuk mengatakan bahwa orang-orang yang ada di dalamnya sebagai ‘intelektual pemulung’, yang bekerja dengan memunguti remah-remah kapitalisme global melalui dana filantropi Barat yang luar biasa besar, yang dahulu juga dipakai oleh Congress for Cultural Freedom (CCF) dan CIA untuk menghancurkan kekuatan anti kapitalisme di Indonesia.[3] Intinya, Jika wacana Islam JIL beroperasi untuk memberi legitimasi teologis atas resepsi dan beroperasinya neoliberalisme, maka Freedom Institute adalah sebuah lembaga tink-tank yang menjadi corong utama neoLiberalisme di Indonesia. Di tangan mereka, wacana toleransi dan pluralisme menjadi proyek persenyawaan Islam dan Neoliberalisme. Di balik wacana merayakan keragaman tafsir atas Islam inilah, Islam hendak ditempatkan sebagai penyokong utama mesin kapitalisme global di Indonesia dengan menggiring publik Islam untuk mengafirmasi neoliberalisme, dengan jalan memanipulasi toleransi Islam sebagai resepsi atas pasar bebas di Indonesia.
Lebih jauh, sokongan dana organisasi filantropi kepada NGO yang dengan terang mendukung neoliberalisme semacam JIL, sesungguhnya mengambil pola yang tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Congress for Cultural Freedom (CCF) untuk mendakwahkan liberalisme ke seluruh penjuru dunia.[4] Jika waktu itu CCF menjadikan organisasi-organisasi semacam PSI, Gemsos dan GPI sebagai agen yang aktif, tak hanya mendakwahkan kebudayaan liberal, tetapi juga menjadi alat untuk melawan kebudayaan realisme sosialis yang diusung Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di bawah PKI dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di bawah PNI,[5] maka saat ini mereka memakai NGO yang mengusung wacana toleransi untuk menyusupkan liberalisme di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh JIL dan mungkin beberapa lainnya.
Sedemikian, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab intelektual Islam generasi pasca JIL untuk menjernihkan posisi teologis-historis maupun teoritis-politis, dengan mendudukkan ‘toleransi Islam’ sebagaimana mestinya, dan menyalakan kembali Api Islam yang telah dipadamkan mereka. Lebih-lebih ajaran toleransi merupakan konsep inheren dalam Islam tanpa perlu ditambahi adjective liberal.
Apa konsekuensinya jika kita hendak melanjutkan kerja teoritis dan praksis Wijaya Herlambang secara konsisten—sebagaimana dilanjutkan Martin—untuk membongkar kebudayaan liberal di Indonesia? Maka mau tak mau akan membawa kita semua untuk tak hanya mengungkap kedurjanaan politik imperium kebudayaan Liberal Goenawan Muhamad yang terang benderang menjadi agen CIA melalui CCF, tapi juga lembaga-lembaga lainnya di Indonesia pasca reformasi yang lahir dalam buaian kasih sayang organisasi filantropi internasional untuk melapangkan jalan neoliberalisme di Indonesia.
Tentu saja ini bukan kerja yang mudah. Sosiolog James Petras, melalui artikelnya, Imperialism and NGOs in Latin America,[6] melancarkan kritik keras atas ketergantungan elemen-elemen kiri di Amerika Latin yang mengkritik liberalisme namun hidup dari menyusu lembaga donor liberalisme yang dikritiknya. Ini tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Beberapa NGO di negeri ini bekerja hanya menitikberatkan kerjanya pada proyek pesanan donor sebagaimana JIL, ketimbang melakukan pembasisan menuju gerakan rakyat yang mandiri. Mereka tidak menggerakkan rakyat untuk berjuang demi mengontrol alat-alat produksi kekayaan dan membongkar kondisi-kondisi struktural yang menggilas kehidupan rakyat, tapi justru membuainya dengan mengadakan workshop toleransi yang jauh dari panas teriknya kehidupan rakyat yang digencet oleh kebijakan yang tak berpihak. Dan bukan rahasia lagi, di balik bahasa-bahasa progresifnya, yang biasa dipakai oleh gerakan kiri, kebanyakan NGO justru bekerja dengan pola sebaliknya dari gerakan kiri. Tentu saja ini tidak berlaku pada semua NGO. Karena, bagaimanapun juga NGO berjasa mendorong proses demokratisasi di Indonesia di masa dan pasca otoritarianisme. Kita bisa ambil contohnya: KontraS, LBH, Walhi dll. Namun, kita juga tak boleh tutup mata bahwa bantuan dana dari organisasi-organisasi filantropi yang berasal dari Eropa atau Amerika, membawa kepentingannya masing-masing melalui dana yang dikucurkannya. Mereka memakai NGO lokal sebagai mitra untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Ada yang memang sungguh-sungguh ingin membantu, tapi banyak pula yang memakai bantuannya sebagai jalan masuknya neoliberalisme.
Dengan demikian, Goenawan, Salihara, Freedom Institute, dan JIL sudah seharusnya dilihat sebagai eksemplar dari wajah neoliberalisme di Indonesia. Posisi politik mereka penting untuk dieksplisitkan agar perdebatan dimungkinkan. Juga demi meneguhkan wacana toleransi pasca Gus Dur dengan menapaki jalan terjal kerjasama sosial antar Iman (bukan hanya dialog antar iman), untuk melakukan kerja-kerja pembebasan bersama rakyat akar rumput dari berbagai problem struktural maupun kultural yang membelitnya. Persis seperti yang dilakukan oleh gerakan rakyat Kendeng di Rembang dan Pati melawan pabrik Semen, gerakan rakyat Urutsewu di Kebumen melawan militer dan perusahaan pengeruk pasir besi, gerakan rakyat Cigugur di Kuningan melawan proyek geothermal Chevron, serta gerakan rakyat Samarinda Menggugat di Samarinda melawan tambang batu bara dll. Mereka telah menunjukkan bahwa toleransi itu bisa tumbuh subur justru ketika toleransi itu tidak dibicarakan dalam ruang-ruang dingin workshop tapi dalam geliat perjuangan dan persaudaraan melawan ketidakadilan.
Tentu JIL akan mengelak dari berbagai kritik yang diarahkan kepadanya sebagai kritik yang berlebihan, sebagaimana tanggapan Novriantoni terhadap kritik Abdul Hakim di tahun 2007 lalu.[7] Namun, kenyataannya, mereka yang mendukung demokrasi liberal telah menutup mata pada fakta bahwa: demokrasi yang dibelanya seringkali dibangun di atas perang dan penghisapan terhadap kaum miskin, buruh dan petani. Disitulah posisi Goenawan, Salihara, Freedom Institute dan JIL berdiri.

persatuan
Tantangan Gerakan Kiri
Di tengah kepungan dominasi politik borjuis, kultur kelas menengah yang apolitis, diberlakukanya MEA, dan berbagai tantangan yang tengah dihadapi rakyat, gerakan kiri belum menunjukkan tanda-tanda ke arah penyatuan dirinya. Mereka masih berserak, bergerak sendiri-sendiri membangun kelompok-kelompok kecil yang satu dengan lainnya tak saling terhubung. Bahkan, kadang-kadang saling tuding dengan parade klaim paling benar (paling kiri) ketimbang lainnya.
Setidaknya ada empat tantangan utama gerakan kiri generasi kita: pertama, banyaknya perpecahan berbagai organisasi kiri yang seringkali disebabkan oleh perseteruan pribadi ketimbang perdebatan teroritik-ideologis. Dengan itu, tugas menyatukan gerakan kiri dalam satu Front, menjadi tanggung jawab bersama. Kedua, ketidakmampuan gerakan kiri keluar dari jeratan organisasi filantropi yang selama ini menyokong politik kebudayaan Goenawan cs yang terang benderang sebagai liberal. Problem inilah yang menyebabkan tak ada bedanya antara Goenawan sang ‘intelektual pemulung’ dengan intelektual kiri yang hidup dan tumbuh bersama rakyat. Tiadanya separasi antara Goenawan dan ‘kita’ membuat semakin runyamnya kerja teroritik dan praksis gerakan kiri. Bahkan, saya sering mendengar dari beberapa kawan aktivis yang mengatakan: “mau kiri mau kanan sumber duitnya sama saja dengan Goenawan”. Apakah cuma saya yang mendengar ini, saya tidak tahu. Bisa jadi saya salah dengar. Namun jika kita amati lebih jauh hancurnya kolektivitas dan solidaritas gerakan buruh dan tani pasca reformasi, tak lain dikarenakan hilangnya kemandirian dalam menjalankan program-program organisasi, seperti kekuatan dana organisasi dari iuran anggota yang sudah digantikan oleh proposal donor.[8] Jadi, organisasi-organisasi kiri yang seharusnya menjalankan iuran anggota secara konsisten sebagai sumber dana perjuangannya, sebagaimana dianjurkan oleh Semaoen dalam ‘Penuntun Kaum Buruh’, justru tidak diamalkannya. Ketiga, kedua kondisi ini membuat keterpaksaan aktivis kiri menjadi ksatria tak bertuan, seperti yang dikatakan Martin. Mereka bak Pendekar Rajawali Yoko, siap bertarung hidup-mati melawan intelektual-intelektual pemulung dan satpam-satpam Neolib. Kondisi ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kecuali kalau kita hendak membiarkan perjuangan gerakan kiri itu dipanggul oleh pendekar-pendekar heroik dengan kemampuan Ginkang yang tak terkalahkan—sebagaimana dalam dunia persilatan. Keempat, perlunya rekonsiliasi historis maupun teoritis antara Islam dan Marxisme di Indonesia pasca 65. Ini menjadi penting karena secara aksiologis keduanya memanggul tanggung jawab sejarah yang sama, yakni untuk mewujudkan kesetaraan (al-musawah) dan keadilan (al-adalah) di muka bumi dan berdiri di posisi yang sama: bersama proletariat.
Tentu saja masih banyak tantangan lainnya. Namun yang pasti kegagalan kita untuk bersatu akan makin memperlambat perjuangan rakyat yang ingin kita wujudkan, yang itu artinya kita tak menyumbang apa-apa selain makin suburnya percekcokan yang sampai ila yaumil qiyamah tak ada akhirnya. Sesulit dan sekeras apapun perbedaan berbagai faksi kiri, sebagaimana yang telah ditunjukkan Martin, tak seharusnya menghalangi kita untuk membangun partai politik bersama. Mungkin ini agak melankolik, tapi kalau boleh saya mengingatkan, sejatinya kita adalah ummatun wahidah (umat yang satu).

Akhir Kalam
Kembali kepada Wijaya. Dari karyanya dan cara pandangnya, kita jadi tahu sikap politiknya yang tak bisa ditawar. Inilah yang saya tangkap dari Wijaya Herlambang, sehingga problem logika apa dan bagaimana yang diungkapkan Martin perihal dukungannya terhadap Jokowi di waktu pemilu, susah diterima olehnya. Bahkan problembagaiamana visi politik emansipatoris kiri diinjeksikan dalam kebijakan politik apparatus negara (baca: menitipkan visi sosialis pada politisi borjuis) sebagai sebuah strategi politik, dilihat olehnya sebagai cara yang justru membuat makin tidak jelasnya mana yang kiri dan kanan di negeri ini, sebagaimana yang saya ulas di atas. Bahkan, ketika saya katakan padanya bahwa pilihan aktivis kiri menghidupi NGO sesungguhnya adalah startegi bagaimana visi politik kiri bisa disalurkan dengan politik dua tangan: satu tangan menengadah ke donor, satu tangan lainnya menimpuk dari belakang, ia anggap itu sebagai kesia-siaan belaka. Sambil berkelakar, kalau tak salah ingat, ia kurang lebih mengatakan: ‘ya, berarti makin jauh kita dari gerakan kiri. Ya tapi, tidak apa-apa ketimbang tidak sama sekali’. Yang kemudian saya timpali dengan bercanda: yang penting niatnya (innamal a’malu binniyat, perbuatan ditentukan oleh niat). Logika ini persis sama sebangun dengan kaedah fiqih: dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih(menolak/mencegah kerusakan didahulukan dari pada melakukan kebaikan). Sebuah perjuangan dengan standar minimal, karena kegagalan kita menyatukan berbagai faksi kiri, dan melakukan kerja pembasisan di akar rumput. Namun, terlepas dari berbagai perbedaan pandangan dalam gerakan kiri, ia sangat merindukan bersatunya gerakan kiri yang mampu memberi sumbagsih besar bagi rakyat.
Di luar karyanya. Wijaya Herlambang yang saya kenal —bukan bermaksud mengkultuskannya—jalan hidupnya jauh lebih sufistik ketimbang barisan kata-kata gelap yang dihimpun para penyair gelap Manikebuis, yang dari balik kegelapannya menyembunyikan dendam yang tak tertanggungkan kepada gerakan kiri, kepada buruh dan petani, kepada kelas pekerja. Mengenai karyanya ia sendiri berujar: saya hanya ingin menyumbang kecil saja. Namun kita tahu ia telah menyumbang banyak pada kita. Wallahua’lam. ***


Tudang sipulung BKMF dE Art Studio FSD UNM






"Tudang sipulung" merupukan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat suku bugis atau tradisi adat suku bugis untuk membicarakan sesuatu terkait tentang permasalahan atau isu-isu yang terjadi di sekitarnya. Secara etimologi Tudang yang berarti duduk, Sipulung berarti Berkumpul Merangkul atau Bersama-sama, jadi bisa kita menafsirkan tudang sipulung ini ialah Duduk bersama-sama untuk membahas atau membicarakan sesuatu yang sangat urgen. Salah satu kegiatan tudang sipulung ini biasanya dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat, ormas, dan organ yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap komunitas atau lembaga/organisasi untuk melihat lebih maju sekaligus untuk meretas permasalahan-permasalahn yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Hidup dalam sebuah organisasi yang dipenuhi dengan orang-orang yeng memiliki bermacam-macam karakter dan latar belakang serta perbedaan untuk mengikat itu semua butah wadah dan media yang bisa merangkul menjadi suatu kesatuan yang utuh yang berbentuk tunggal. Kemudian tudang sipulung ini lahir menjadi wadah untuk mempersatukan paham, memretas permasalah-permasalan kelompok dan permasalahn individu dari kempok itu sendiri. BKMF dE art STUDIO hadir sebagai biro bakat minat fakultas suatu lembaga yang menampung mahasisiwa untuk eksis dalam berkarya seni, mengembangkan potensi diri dan memanusiakan manusia sebagai mana mestinya. Peranan BKMF dE art studio cukup besar di dalam dan diluar kampus menjadikan lembaga ini memiliki banyak dinamika akan tetapi dari proses dinamika ini yang membuat lembaga ini megembangkan gaunnya lebih besar, bisa dikatakan dE art STUDIO hadir karena adanya dinamika. IQ, ESQ, dan EQ sebagai modal utama sebagai alat untuk melawan dinamika itu, bukan berarti dinamika hadir kita harus lari, tetapi yang harus kita pikirkan ialah bagaimana kita mempersiapkan, strategi, kekuatan, dan analisis terhadap apa yang kita hadapi untuk memecahkan dinamika tersebut. Orang-orang yang lahir di lembaga ini sangat menjujung etika dan moral secara emosional dengan dasar-dasar budaya bugis sebagai kecintaan akan kebudayaanya. Hadirnya tudang sipulung ini untuk merangkul duduk bersama-sama untuk membicarakan bagaimana kedepannya lembaga ini tetap eksis dalam berkesenian dan berlembaga, membuat formula untuk meretas permasalah multidemensional yang terjadi di internal dan sekaligus ajang untuk mempererat silaturahmi dengan pendiri/pendahulu, Kakak, dan adik dalam suatu bingkai keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Senin, 21 Desember 2015

catatan perjalanan "nilai luhur budaya bugis makassar"


Terletak sebelah utara Bantaeng tepatnya daerah Tompobulu yang biasa kita kenal dengan Banyorang.
Dahulu kala ada kebiasaan atau adat masyarakat Banyorang yang biasa di sebut dengan "sitobo' lalang' lipa" kebiasaan ini dilakukan untuk memilih siapa yang paling kuat dan berhak memimpin rakyat Banyorang.
Maka muncullah seorang yang sangat santun dalam setiap kelakuannya.
Beliau bernama "Kr. Baso Kimbannong"
Beliau juga manusia yang sangat cerdik.
Karena kecerdikannya itu maka beliau memimpin rakyat Banyorang............
Singkat cerita :
Waktu itu di mulailah kegiatan tersebut dimana beliau salah satu dari petarung "sitobo' Lalang' Lipa"
Maka masuklah kedua petarung ke dalam liang yang bentuknya melingkar seperti sumur, mereka memakai satu sarung berdua dan di lengkapi dengan senjata tajam tradisional yang biasa di sebut dengan Badik.
Tak lama kemudian mereka berdua di naikkan ternyata hasilnya seri, mereka berdua sama-sama terluka.
Selanjutnya petarung yang kedua yang paling di tunggu dan paling seru sepanjang acara ini.
lawan dari Kr. BAso Kimbannong turun ke liang yang berbentuk lingkaran tak lama kemudian beliaupun datang dan langsung ikut turun, pertarungan tersebut yang lebih serunya lagi aturan tambahan pun di adakan yaitu tiap saat dapat berhenti untuk istirahat.
Sudah dua kali istirahat namun belum ada yang menjadi pemenang, namun pada akhirnya Kr. Baso Kimbannong meminta untuk istirahat yang ke tiga kalinya, masyarakat yang menyaksikan kaget mendengar permintaan beliau tersebut.tanpa basa basi beliau tiba-tiba meninggalkan arena pertarungan...
Tak lama kemudian beliaupun datang dengan senyuman ciri khasnya sambil memegang beberapa bekas tusukan badik lawannya.
Turunlah mereka berdua hanya berselang beberapa menit lawan dari Kr. Baso Kimbannong terkapar dan beliaupun bergegas naik, masyarakat sekitar bertanya-tanya ada apa dengan lawan beliau yang tiba-tiba tersungkur ternyata beliau menggunakan badik yang lebih pendek dan warangka (sarung badik) lebih panjang.
Memang kelihatannya badik mereka sama tapi isinya beda ada yang panjang dan ada yang pendek, jadi pada saat menancapkan badik tersebut beliau lebih cepat lima kali tusukan di banding lawannya yg baru mencabut badiknya yang panjang, itulah salah satu kecerdikan beliau dan terjawab sudah siap yang akan memimpin rakyat Banyorang, beliau pun memimpin dengan niat yang tulus dan yang namanya kehidupan pasti ada kematian dan satu lagi keinginan beliau sebelum meninggal, yaitu:
Saya mau di kuburkan berdiri bersama badik saya agar saya bisa berkelahi dengan Mungkar.
Entah itu gurauan ataupun serius keluarga tetap melaksanakan keinginan beliau.
Sampai saat ini makam belaiu masih di jaga oleh orang -orang yang setia hingga akhir.........
Duel dalam satu sarung itu atau dalam istilah bahasa Makassar, disebut ”sitobo lalang lipa", merupakan simbolik dari akar budaya kita, yang berkaitan dengan substansi yang bernama siri na pacce itu.
Siri berkaitan dengan dimensi kehormatan martabat untuk terus ditegakkan , kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan.
Artinya, walaupun kita dalam keadaan mencabut badik dalam menegakkan harga diri, maka pada saat yang sama, dimensi kemanusiaan juga harus ditegakkan
Duel dalam satu sarung bagi orang Bugis Makassar dengan saling dilengkapi dengan benda tajam khas Bugis Makassar yang di sebut Kawali/ Badik, bukanlah sifat arogansi, kejam atau saling menganiaya, tetapi di pahami semacam nilai empati, nilai penghargaan kepada eksistensi rupa tau / penghargaan nilai kemanusiaan, substansi keadaan ini adalah perihal tarik menarik antara penegakan harga diri berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan, keharuan terhadap orang lain pun muncul.
Di sinilah bagaimana manusia Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar, mengalah dan mengelola eksistensinya (keberadaannya) untuk bisa mengambil jalan kearifan untuk dapat mengambil suatu langkah.
Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa.
Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Dari sinilah bertolak duel satu sarung itu.
Sebenarnya, duel satu sarung yang berlatar siri dan pacce ini banyak disalah pahami, disalah tafsirkan oleh banyak generasi baru kita.
Kearifan-kearifan diletakkan oleh orang-orang tua kita, leluhur-leluhur kita dalam duel maut tersebut.
Banyak ditafsirkan salah, siri dan pacce bahkan diidentikkan sebagai hasrat untuk membunuh.
Menganggap menegakkan siri tidak lain harus diselesaikan di ujung badik.
Padahal duel di sini bisa dimaknai lebih luas dan dalam: duel spiritual, duel kultural, duel kemanusiaan untuk menegakkan harga diri dan martabat sebagai hamba Allah.
Jadi implementasinya dari kearifan itu tadi, kita membela diri atau menegakkan kehormatan sebagai eksistensi hamba yang mulia.
Jadi, kemuliaan manusia itu yang harus dibela jadi jangan sampai ada yang saling menzalimi antar sesama manusia.
Kalau tak ada realitas, di masa-masa lalu, duel satu sarung hubungannya dengan penyelesaian sebuah konflik yang tidak bisa lain kecuali harus mencabut badik dengan masuk dalam sarung untuk berduel adalah suatu simbolik, pengukuh atas kemuliaan seseorang sebagai manusia.
Nah, hubungannya dengan itu, lalu apa yang disebut duel?
Duel sering diasosiasikan sebagai pertarungan fisik.
Duel identik dengan pertempuran fisik.
Padahal di sini, yang lebih subtansial, adalah spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan.
Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya target yang mulia tetapi juga proses ke arah itu.
Untuk menyimpulkan duel satu sarung, sarung harus diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan.
Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama.
Jadi sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan kebersamaan di antara manusia.
Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa.
Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Jadi sarung bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri.
Di antara orang berduel ini di dalam kebencian itulah yang biasa disalahpahami oleh kita semua ini.
Bagaimana menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam satu sarung, dalam arti kata kita diikat oleh kebersamaan sebagai sesama manusia, mengapa mesti ada konflik yang harus berdarah-darah?
Inilah, ya, menurut saya di sinilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal berpolitik, selalu memakai ‘main kayu’.
Jadi penegakan siri dan pacce melalui peragaan simbolik bertarung dalam satu sarung harus kita artikan satu ikatan antar sesama manusia.
Di dalam berkonflikpun kita tidak bisa menampikkan atau membenci musuh kita.

Kita tidak bisa mengeksploitasi lawan itu secara binatang, secara kebencian, itulah eksistensi dari kearifan budaya Bugis- Makassar.
Bagaimana rupa istilah Sipakatau itu dijabarkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk dalam perilaku budaya pada saat gawat yang bernama konflik.
Di dalam konflikpun kita harus memanusiakan manusia.
Kalau kita bawa hal itu ke dalam dunia moderen seperti saat ini bagaimana kita mengulangi apa yang dikatakan oleh pakar-pakar budaya dunia seperti “Kita tidak bisa menciptakan masa kini atau masa depan tanpa adanya sejarah atau masa lalu”.
Jadi sejarah merupakan guru atau panitia yang memberikan kita kearifan-kearifan.
Jadi untuk membuat keberadaban baru, perlu ada sikap kultural untuk “Discover The New In The Old”.
Menemukan sesuatu yang baru, melalui proses masuk ke dalam budaya-budaya tua.





Rabu, 16 Desember 2015

“Bocah Ingusan” di Gigs Underground?

Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk datang ke salah satu acara gigs underground di daerah Rawamangun karena saya ingin menyaksikan teman-teman saya manggung. Tapi sesampainya disana saya merasa sedikit risih, karena gigs tersebut dipenuhi oleh anak-anak di bawah umur.

10942587_946034062074770_415349660498923468_n
WHAT THE FUCK!
Mereka berdansa dibalik ketidak pahaman tentang apa yang dimaksud dengan musik underground itu, dan mirisnya mereka tidak “moshing”, mereka lebih seperti melakukan seni bela diri kapuera/kung-fu, disaat musik yang keras berkumandang mereka justru tidak menikmati alunan musik tersebut, melainkan mereka mulai berduel dengan teman-temannya, tidak heran belakangan ini di setiap gigs underground saat ini ada saja yang sampai benar-benar berkelahi sehingga menyebabkan terhentinya acara tersebut. Dan jika ada band yang genrenya  agak lemes atau asing di kuping mereka, mereka berhenti berdansa dan duduk terdiam.
Yap, mungkin kalian yang sependapat dengan saya akan terheran-heran dengan fenomena baru seperti ini. Aneh tapi nyata. What the hell man, mereka gak ngerti apa-apa tentang musik underground, dan mereka juga belum saatnya mengerti.
Dan mungkin saja ada temen-temen atau para pembaca yang masih awam tentang musik underground. Sebelum saya melanjutkan ocehan saya tentang bocah-bocah tersebut, saya akan menjelaskan sedikit tentang apa itu musik underground.
Mungkin yang kalian pikir tentang musik underground itu adalah musik yang keras, grasak grusuk, menyalahi aturan, pokoknya imagenya jelek lah di mata mainstream. Kalian salah guys.
Pada dasarnya “Underground” adalah sebuah movement atau pergerakkan dimana tidak terikat pada suatu korporasi yg bersifat mengikat. Pergerakkan “Underground” ini bersifat counterculture (bisa disebut juga antitesis, atau sangat berbeda dengan pakem-pakem yg ada).
adsad
Mayoritas yang datang itu dari umur 8-17 tahun, miris
Dalam dunia musik, “Underground” pertama kali diperkenalkan oleh scene psychedelic pada tahun 1960an, dan dilanjutkan oleh band-band seperti The Grateful Dead, Velvet Undergound, Acid Test, MC5, dan Frank Zappa. Bahkan The Beatles pernah dianggap sebagai pemrakarsa scene “Undeground” pertama.
Band yg dikategorikan sebagai band “Underground” adalah band yg memegang konsep etik D.I.Y (Do It Yourself), merekam dan memeproduksi album mereka dengan kerja keras mereka sendiri tanpa terikat Label besar -yg sekarang ngtrend dengan sebutan indie label-, dan mengadakan pertunjukkan musik di tempat-tempat yg tidak representatif. Itulah definisi Musik Underground yang sebenarnya.
Sebagai penikmat musik underground, kita seharusnya tetap respect dengan ciptaan mereka para pelaku musik underground, ubahlah mindset kalian jika kalian ingin datang ke gigs underground. Jangan mentang-mentang band A keras dimoshingin, band B lemot dikacangin. Mereka bikin musik susah payah.
Saya melihat bahwa anak muda zaman sekarang sangat miskin wawasan dalam berbagai hal, mereka tampak enggan untuk mengetahui asal muasal hal favorit mereka itu. Musik adalah contohnya, anak muda sekarang kebanyakan mengaku meyukai salah satu aliran musik,tapi hanya sedikit sekali dari mereka yg benar-benar membongkar habis tentang musik yg mereka sukai itu. Baik dari asal-muasal aliran itu, band-band apa saja yg dianggap sebagai pelopor aliran itu.
Memiliki pengetahuan seperti itu sangatlah besar manfaatnya, salah satunya adalah kita akan mempunyai BASIC dan Originalitas.
Balik lagi ke bocah-bocah yang sok underground. Seperti yang dikatakan band teman saya Other Side . Mereka berpendapat bahwa tidak seharusnya mereka berada disini. Belum saatnya, karena mereka masih labil. Tidak akan bisa paham dengan definisi Underground yang sebenarnya.
Saran saya untuk kalian para pembaca yang ingin membuat gigs, buatlah pembatasan umur untuk memasuki acara kalian, ya minimal 19+. Untuk kalian para penikmat musik, berusahalah untuk mengembangkan dan mencari tau seluk beluk musik favorit kalian. Karena akan lebih bermanfaat untuk kalian sendiri daripada sekadar mendengarkan. Karena saya percaya di setiap lagu itu memiliki makna-makna tersendiri. Dan kalian juga harus pintar memilah milih yang mana musik yang bagus dan yang mana yang buruk. Dan untuk kalian para pelaku musik, jangan mikirin diri sendiri. Musik adalah komunikator terbaik, jangan sampe kalian menciptakan bad influence untuk pendengar kalian.
asdad

Penulis juga seorang pelaku musik yang memimpikan hilangnya pembodohan dari dunia musik.

Minggu, 06 Desember 2015

Musik Hanyalah Budak Iklan Bagi Merek-Merek Minuman Beralkohol


Di kalangan scene underground di Indonesia, sudah banyak band yang menuliskan lagu tentang minuman beralkohol. Tak kurang dari nama-nama, Ciu, Intisari, Lapen, Arak, telah jadi semacam ikon pemberontakan. Mereka mengabadikannya dalam judul lagu, lirik, motto, slogan, sampai jalan hidup.
Seperti misalnya, band asal Jogja, Shaggydog. Mereka pernah merilis lagu berjudul Di Sayidan. Lewat lagu ini Shaggydog secara tidak langsung mempromosikan dan mengampanyekan budaya ‘minum’. Bagi penggemarnya, lagu ini seperti Anthem atau lagu wajib. Dalam lagu itu, mereka hendak bercerita tentang kebersamaan. Di dalam kebersamaan itu, rasanya tidak lengkap kalau tidak ‘minum’ bersama. Dalam liriknya mereka menyebut Lapen, salah satu brand bir lokal dari Yogyakarta.
Superman Is Dead juga sempat merilis lagu seputar Arak Bali. Dan banyak band-band underground lainnya juga sempat mengabadikan nama merek-merek bir tersebut. Namun, sesampainya di jagat musik mainstream, biasanya mereka menghindari tema-tema ini untuk menjaga keberlangsungan band mereka.
Sejalan dengan ini, sebuah studi di John Hopkins School of Public Health ternyata menunjukkan gejala yang sama. Mereka mencatat ada empat brand minuman keras yang sering muncul di lagu-lagu populer dalam daftar The Most Popular Billboard’s Song List. Diantaranya: Patron Tequila, Hennessy Cognac, Grey Goose Vodka, Jack Daniels Whiskey.
Penelitian yang dilakukan dalam jangka empat tahun belakangan ini, menunjukkan, dari 790 lagu, 167 (23.2%) diantaranya menyebutkan kata alkohol. Dan 46 (6.4%) lagu secara spesifik menyebut merek bir tersebut. Alkohol paling banyak disebutkan dalam genre rap, hip-hop and R&B (37.7%) kemudian diikuti oleh musik Country (21.8%) dan musik pop (14.9%).
Setidaknya, ada 14 penilitian yang menunjukkan bahwa marketin dari bran-brand alkohol itu memasuki jagat dunia hiburan dengan sangat intensif. Target mereka adalah kalangan pemuda. Bagi yang masih pemula, di media ini, mereka diperkenalkan. Bagi yang sudah terjerat, mereka dipaksa untuk makin masuk ke dalam ketergantungan. Kaum muda di Amerika rata-rata menghabiskan waktunya 3 jam per hari untuk mendengarkan musik.
“Beberapa brand alkohol bahkan nampak jelas berusaha untuk semakin sering menyusup dalam musik-musik pop,” kata Michael Siegel, MD, MPH, proffesor di Boston University School of Public Health. “Ini menjadi tugas bersama untuk menangkalnya,” tambahnya.
Di Amerika, Alkohol bertanggung jawab atas kematian 4700 pemuda tiap tahunnya. Bahkan, rata-rata umur mereka masih di bawah 21 tahun. Lebih dari 70% siswa SMA di Amerika telah mengonsumsi Alkohol dan 20%-nya telah dinyatakan kecanduan.
Kenyataan ini mirip seperti di Indonesia. Sudah sering kita dengar di Televisi, dalam satu kejadian bisa 5 sampai 10 pemuda tewas karena menenggak alkohol. Terutama mereka yang mencoba bereksperimen dengan campuran-campuran lain. Bayangkan, alkohol saja sudah berbahaya, apalagi dioplos dengan yang lain.*[KK]

Selasa, 03 November 2015

PERJUANGAN PEMUDA UNTUK UMAT

Darah juang muda telah kau ikrarkan dalam bentuk sumpah dan takdirmu maka kau tak perlu bungkam lagi melihat penindasan dinegrimu, keluarlah dari alam gelap mu sudah terlalu lama kau kumpulkan panji-panji kebenaran hasil dari perenungan mu. 
kaum muda kini dirimu diminta tanggung jawabmu sebagai kaum muda yang sadar akan setiap kezaliman dinegri ini, sehingga gerakmu dituntun sebagai patron penghancur setiap kezaliman, ruh dan raga mudamu jangan kau sia-siakan karna jiwa muda takkan terulang lagi dimasa hidupmu jangan sampai kelak sejarah tidak mencatat namamu sebagai genersi muda yang progresif terhadap persoalan keumatan.
bangkit dan lawanlah setiap penindasan, satukan persepsi misi cerdas militan merakyat mu untuk umat manusia kaum muda sehingga gerakmu hari ini akan dicatat oleh alam raya bahwa sejarah juangmu dijadikan suatu ruh perjuang untuk generasi mudamu nantinya. Rahmat hidayat
Pemuda adalah sebuah patron penggerak dalam tatanan kehidupan umat manusia sehingga eksitensinya harus digenjot untuk menunjukan sejauh mana mereka dapat mengubah setiap paradikma dogmatis yang berkembang dalam kehidupan masyarakat awam, melihat daripada dinamika dan konstalasi budaya kosumsi yang menghantarkan bangsa ini sampai kepada titik ketidak seimbangan lagi maka disinilah hadirnya pemuda sebagai alat penghantar pengubah setiap keadaan yang sudah tidak memiliki keselarasan lagi dengan budaya kenusantaraan yang kita ketahui bersama sebagai cikal bakal identitas bangsa Indonesia yang kita jujung tinggi harkat dan marwahnya.
Sungguh ironis pemuda hari ini sudah mengalami sebuah tradisi kegalauan yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan carut marut dalam konsep ideologi dan wilayah praksis, ini seharusnya kemudian diputuskan mata rantainya jangan sampai berkembang menjadi budaya apatis dan hedonisme jika sifat ini sudah terakulasi maka yakin saja pemuda yang seharusnya menjadi pelopor untuk mengubah keadaan dalam konteks material maupun nonmaterial tidak akan tercapai karna secara konsep dan praksis mereka tidak memilikinya, maka tidak dapat dipungkiri pula dinamika yang menghantam proses turunnya nilai perjuangan keumatan yang dipelopori oleh kaum muda diera sekarang sudah ditarget oleh para birokrasi agar mereka diberikan batasan dalam ruang geraknya dengan system yang mereka terapkan dalam lingkungan dunia pendidikan dengan metode menyibukkan pemuda dengan berbagai kegiatan seremonial yang mereka programkan sehingga pemuda yang seharusnya sebagai masyarakat pengontrol antara high Class dan Low Class hilang.
Jika menengok dalam berbagai literatur sejarah perjuangan di Indonesia setiap aksi gerakan keumatan rata-rata dipelopori oleh kaum muda intelektual yang mempunyai visi dan misi keumatan yang jelas bahwa setiap penindasan harus segera berakhir karna bangsa Indonesia hadir dan merdeka bukan atas pemberian dari Negara lain tetapi atas dasar nilai perjuangan rakyat seutuhnya, ini adalah sebuah cambukan secara historis bahwasan nilai dan kaidah perjuangan tetap kemudian menjadi sebuah tombak untuk menyadarkan pemuda sekarang agar tetap memiliki daya dan energy dalam perjuangan keumatan.
Jika kita merenungi keadaan pemuda sebagai pelopor perjuangan keumatan hari ini mereka kehilangan identitas dirinya karna proses penyadaran dan penanaman nilai perjuangan sudah giring pada budaya aportunis sehingga tidak jarang kita mendengar bisikan dan kicauan masyarakat borjuis dan proletar menyuarakan mosi ketidak percayaan terhadap gerakan keumatan yang dilakukan oleh kaum muda, banyak gerakan hari ini dijadikan suatu alat untuk memuluskan kepentingan kelompok maupun perorangan dengan menggunakan gerakan pemuda, persoalan ini seakan sudah menodai eksitensi dan identitas pemuda sebagai pejuang keumatan, pandangan ini kemudian harus di ubah dengan kita menunjukan kembali daya energy perjuangan keumatan yang berlandaskan nilai kebenaran untuk penumbangkan kezaliman yang ada dengan demikian masyarakat akan sadar bahwa perjuangan pemuda adalah lahir dari nilai-nilai keumatan yang suci.
Melihat daripada bergesernya nilai perjuangan keumatan pemuda sekarang harus secepatnya kita retas secara bersama sehingga tatanan dan konstalasi politik yang telah merongrong pada politik liberal yang diterapkan oleh para lakon penguasa dinegri ini maka secepatnya kita kaum muda yang sadar akan segala ketertindasan bergerak untuk melakukan upaya penyadaran ditingkatan pemuda dengan metode hukum kontradiksi sejarah perjuangan pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan dulu kemudian kita benturkan gerakan keumatan pada masa sekarang sehingga nantinya penanaman nilai perjuangan akan tertanam kembali pada perjuangan pemuda untuk umat.
Penyadaran pemuda sekarang harus di mulai dengan beberapa tahap agar eksitensi perjuangan keumatan kembali menjadi sebuah identitas dalam perjuangan diantara:
• Budaya membaca harus di biasakan agar pemuda mempunyai landasan konsep yang sewaktu-waktu bisa diletuskan dalam menghadapi persoalan keumatan
• Budaya diskusi dijadikan sebuah dialektika dalam memahami setiap persoalan yang ada dalam tatanan sosial sekaligus melati analisa pemuda dalam membaca konstalasi umat yang ada, agar mereka tidak premature memahami kondisi objektifnya umat hari ini.
• Budaya perealisasian antara konsep dan analisa dialektikanya harus diaplikasi dalam kehidupan keumatan jangan sampai mereka hanya bermain pada wilayah konsep dan dialektik saja tampa pada kondisi realnya.
Harapan terbesar kita selaku generasi muda tetap menjujung tinggi nilai dasar perjuangan untuk umat karna estafet keutuhan NKRI ada pada kita selaku generasi muda, kita akan terus mengupayakan yang terbaik sesui dengan disiplin keilmuan kita karna perjuangan untuk umat bukan hanya mengkritisisasi kebijakan pemerintah saja tetapi perjuangan memiliki banyak cara asalkan bersumber dari visi dan misi keumatan kita hadir sebagai pemuda untuk mencerahkan dan mengubah tatanan kehidupan masyakatat yang lebih humanis dibawa bendera kemaslahatan ditengah banyak perbedaan itulah eksitensi dasar perjuangan pemuda untuk umat.
Persoalan yang tidak kalah hangat juga diperbincangkan sekarang adalah banyaknya aliran baru yang berkembang diindonesia yang mencoba merasuki tatanan kepercayaan yang berkiblat dari timur dengan fundamentalisnyan dan yang datang dari barat dengan liberalismenya ini kemudian pemuda harus mempunyai daya cerna dan daya kritis jangan sampai keutuhan NKRI tergoyahkan dengan problem yang demikian, maka diperlukan pemuda melakukan langkan kongkrit dengan memberikan pencerahan kepada semua masyarakat yang sifat konsumtif agar mereka tidak terjebak pada budaya luar maupun pahaman keagamaan luar yang menghilangkan eksitensi kenusantaraan Negara kita, sebab negara telah menyepakati segala bentuk keberagaman (heterogen ) dalam hidup kehidupan bernegara dalam ruang lingkup bangsa Indonesia.
Semoga pemuda hari ini tetap menjadi garda terdepan dalam mempertahankan Negara ini dari segala bentuk pelemahan secara pertahanan dan penghancuran dalam segi kebudayaan, karna kemaslahatan umat adalah persoalan yang sangat krusial dalam bingkai kenusantaraan kita.

Minggu, 18 Oktober 2015

Jatuh cinta stadium akut,Menyebabkan gejala mabuk cinta,karna racun cinta bisa menyebabkan yng namanya aqalotoksik dan gejala klinis lainya Yang dipikirkannya dia, gak bisa hidup tanpa dia. Kemana-mana ingin sama dia, nunggu kabar dia.Ingin diperhatikan dia.
Nah obat dan terapi terbaik adalah
1. Logika
2. Tuhan sudah memberikan kita kebebasan memilih yaitu, ada jalan yng melalui ridhony sndri,dan ada jalan nya yng mllwi prantara iblis, jadi tinggal dipilih obatnya,

Senin, 21 September 2015

Jika negeri ini adalah....

Jika negeri ini adalah Korea Utara, maka kelaparan adalah hal biasa. Belasan juta penduduknya setiap tahun kekurangan pangan, perut lapar, salju turun, membuat menggigil kedinginan. Anak-anak kurus, tatapan mata suram. Dan tidak ada satupun yang bisa berteriak protes, atau peluru akan menghajar kepala. Jika negeri ini adalah Korea Utara, tidak ada film-film asing, tidak ada lagu-lagu asing, menonton sinetron tertentu dianggap kriminalitas, memainkan sebuah lagu yang salah bisa berakhir di tiang gantungan. Jika negeri ini adalah Korea Utara, mulut-mulut hanya tersumpal diam, jangan tanya facebook, twitter, dsbgnya, jaringan internet dan HP pun dikendalikan penuh penguasanya.
Jika negeri ini adalah Suriah, maka peperangan adalah hal biasa. Ledakan rudal, rentetan peluru, seperti suara jangkrik di malam hari. Percik nyala api, berdentum tinggi, asap menggumpal, menjadi latar biasa saja menuju sekolah dan kantor. Anak-anak hidup bersama kematian yang mengintai. Pangan susah didapat, pekerjaan apalagi. Setiap hari perang saudara meletus. Dan jutaan rakyatnya berjalan tanpa alas kaki mengungsi. Berusaha pergi ke tempat yang lebih baik melewati perjalanan mengerikan. Anak-anak mati di atas kapal, tubuh kurus kering tanpa daya terkapar tontonan lumrah. Menangis? Sudah kering air mata. Jangan tanya update instagram, hei, mereka tidak akan sempat selfie lantas bilang, "sedang terombang-ambing dikapal lima hari."
Jika negeri ini adalah Palestina, maka disaat negara-negara lain bersuka-cita merdeka puluhan tahun, mereka harus terus terbiasa hidup dalam jajahan. Anak-anak kehilangan orang tuanya. Dinding rumah berlubang oleh peluru seperti hiasan saja. Mereka terus tersingkirkan, tanah mereka terus dihabisi penjajah. Terus terhimpit tanpa bisa melakukan apapun. Melawan? Dituduh teroris. Sama seperti pejuang kemerdekaan negeri ini dulu yang juga dituduh ekstremis oleh penjajah. Berteriak tidak terima? Dibungkam dengan mitraliur. Tidak bisa protes, tidak bisa berteriak marah, atau sekutu penjajah akan menyumpal mereka. Listrik sering dimatikan penjajah, air PAM, dan yang lainnya jangan tanya. Hidup mereka "abadi" dalam jajahan.
Tersenyumlah. Bukan karena hidup kita sudah sempurna bahagia, tapi sebagai rasa syukur. Terima kasih, kita tidak hidup sesusah orang lain.
*Tere Liye

Jumat, 18 September 2015

Falasi meraih simpati

Apabila kebenaran digeruni...
Apabila kebenaran tersingkap...
Apabila kesilapan terbongkar....
Apabila kesilapan terserlah....
Maka mereka mulai panas..
Apa modal untuk berhujah?
Tiada apa yg boleh disangkal
Apa modal untuk berlawan?
Tiada apa yg boleh dibangkang
Lalu mereka cuba merombak warna
Yang kotor dipalit putih
Yang noda ditampal putih
Namun masih terserlah kesan pembohongan
Masih tertompok coret hitam haloba
Lalu mereka giat menulis ayat Tuhan
Di atas palitan putih
Supaya penonton bersimpati dan memuji
Supaya penonton terus menafikan kebenaran
Rakus manusia bermaharajalela
Falasi meraih simpati
Munafik....

yayat


kisah cinta ku..

inilah cerita tragis cintaku
tentang si lulu pacarku yg dulu
sering aku mati dalam cemburu
dia bercinta dengan sahabatku
terakhir kekasihku namanya siti
rajin mengaji, jago bikin puisi
aku cinta padanya setengah mati
kini dia pergi tak kembali
reff:
mengapa cintaku begini
selalu ku ditinggal pergi
apa mungkin ini takdirku
menjadi jomblo sejati
mengapa cintaku begini
selalu ku ditinggal pergi
akankah suatu hari nanti
akan datang padaku sang putri
itulah cerita tragis cintaku
tentang si lulu pacarku yg dulu
tentang si siti yg baru pergi
dan cintaku kembali sendiri

Kamis, 17 September 2015

Menghibur diri sendiri

Dalam banyak situasi, kadang, menghibur diri sendiri itu tidak mudah.

Saat gagal tes masuk sekolah yang dicita-citakan, sudah mati-matian belajar, sudah berusaha habis-habisan, tapi mau dibilang apa, nama kita tidak ada di koran pengumuman. Mata jadi basah, kecewa dan sedih. Ingat orang tua yang berharap banyak. Ingat teman-teman yang lulus dan bersuka-cita. Dalam situasi ini, menghibur diri sendiri tidak selalu mudah. Berat sekali membujuk hati, bilang, "Hei, masih ada kesempatan lainnya." "Hei, dunia belum kiamat, loh. Masih ada sekolah lain. Masih ada tahun depan." Dan ribuan kalimat penghibur lainnya--yang tetap tidak mencegah bulir air mata kita tumpah. Omong-kosong semua kalimat-kalimat motivasi itu. Terisak menangis.

Saat mendapatkan nilai-nilai jelek, saat kenyataan tidak sesuai harapan, ketika disakiti, ketika menginginkan sesuatu dan tidak tercapai, saat kehilangan sesuatu yang disayangi, ditinggalkan pergi, hampir setiap hari hidup kita memiliki masalah, satu-dua serius sekali, namanya juga hidup, maka di titik-titik inilah, kita butuh kalimat yang menguatkan hati. Motivasi yang menegakkan kaki. Dan mungkin benih harapan-harapan baru yang akan membuat tersenyum. Tapi itu kadang tidak mudah. Susah payah. Karena memang, sejatinya, menghibur diri sendiri tidak selalu mudah.

Oleh karena itu, itulah guna-gunanya buku-buku yang baik. Saat kita kehabisan pegangan, baca buku-buku tersebut. Tidak mengapa membacanya dalam kondisi paling sedih, karena biasanya, justeru kalimatnya akan lebih meresap, nasehatnya akan lebih terasa. Milikilah buku-buku terbaik yang kalian anggap bisa menjadi penghiburan, yang setelah membacanya, perasaan akan lebih lega.

Jika tidak suka membaca buku, juga ada pilihan lain. Film-film. Ada banyak film legendaris, yang bukan saja ceritanya menghibur dan menyenangkan, tapi juga menginspirasi, membuat kita merasa ada nyala api baru di dalam dada. Tidak mengapa menontonnya sambil tersedu, saat menontonnya, berbisik dalam hati, cerita film ini kenapa mirip kondisi saya. Tidak mengapa, dia tetap penghiburan terbaik.

Bagaimana kalau tidak suka buku, pun tidak suka film? Cari hal lain. Mungkin ada kawan lama yang suka mengoleksi kaset ceramah Zainuddin MZ (diantara kalian pasti ada yang kenal dai kondang ini), saat dia bete, dia putarlah itu ceramah lawas. Sambil tiduran, menatap seekor cicak di plafon kamar. Habis kasetnya, dia akan menghembuskan nafas panjang. Atau mungkin putarlah lagu-lagu terbaik dari penyanyi-penyanyi hebat. Dengan lirik lagu yang entah kenapa gue banget. Saat sedang kecewa, putarlah itu lagu, saat gagal, putarlah juga itu lagu, aduh, terasa menusuk ke dalam hati. Inilah hidupku. Akan kulewati. Selesai lagu itu diputar, kita bisa tersenyum meski tipis. Atau ambil buku mewarnai, kemudian tenggelam asyik mewarnai. Atau blogwalking, membaca blog2 di internet. Ada banyak sekali pilihan penghiburan.

Hidup ini memang tidak selalu berjalan sesuai mau kita, karena sopir sesungguhnya kehidupan bukan kita. Kadang kita bertemu jalan berbelok curam, lantas terpelanting jatuh. Kadang bertemu lembah dalam, terlempar jauh. Ayo bangkit, kawan, kita tetap harus melanjutkan perjalanan, semoga di depan jalanan landai dan mulus.

Ingatlah baik-baik: Dalam banyak situasi, kadang, menghibur diri sendiri itu tidak mudah. Itu betul sekali. Tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan. 

Selasa, 15 September 2015

puncak gunung tambora

Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang merupakan bagian dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan kepulauan Indonesia. Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas margasatwa.Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian.Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki.