Terletak sebelah utara Bantaeng tepatnya daerah Tompobulu yang biasa kita kenal dengan Banyorang.
Dahulu kala ada kebiasaan atau adat masyarakat Banyorang yang
biasa di sebut dengan "sitobo' lalang' lipa" kebiasaan ini dilakukan
untuk memilih siapa yang paling kuat dan berhak memimpin rakyat
Banyorang.
Maka muncullah seorang yang sangat santun dalam setiap kelakuannya.
Beliau bernama "Kr. Baso Kimbannong"
Beliau juga manusia yang sangat cerdik.
Karena kecerdikannya itu maka beliau memimpin rakyat Banyorang............
Singkat cerita :
Waktu itu di mulailah kegiatan tersebut dimana beliau salah satu dari petarung "sitobo' Lalang' Lipa"
Maka masuklah kedua petarung ke dalam liang yang bentuknya melingkar
seperti sumur, mereka memakai satu sarung berdua dan di lengkapi dengan
senjata tajam tradisional yang biasa di sebut dengan Badik.
Tak lama kemudian mereka berdua di naikkan ternyata hasilnya seri, mereka berdua sama-sama terluka.
Selanjutnya petarung yang kedua yang paling di tunggu dan paling seru sepanjang acara ini.
lawan dari Kr. BAso Kimbannong turun ke liang yang berbentuk
lingkaran tak lama kemudian beliaupun datang dan langsung ikut turun,
pertarungan tersebut yang lebih serunya lagi aturan tambahan pun di
adakan yaitu tiap saat dapat berhenti untuk istirahat.
Sudah dua
kali istirahat namun belum ada yang menjadi pemenang, namun pada
akhirnya Kr. Baso Kimbannong meminta untuk istirahat yang ke tiga
kalinya, masyarakat yang menyaksikan kaget mendengar permintaan beliau
tersebut.tanpa basa basi beliau tiba-tiba meninggalkan arena
pertarungan...
Tak lama kemudian beliaupun datang dengan senyuman ciri khasnya sambil memegang beberapa bekas tusukan badik lawannya.
Turunlah mereka berdua hanya berselang beberapa menit lawan dari Kr.
Baso Kimbannong terkapar dan beliaupun bergegas naik, masyarakat sekitar
bertanya-tanya ada apa dengan lawan beliau yang tiba-tiba tersungkur
ternyata beliau menggunakan badik yang lebih pendek dan warangka (sarung
badik) lebih panjang.
Memang kelihatannya badik mereka sama
tapi isinya beda ada yang panjang dan ada yang pendek, jadi pada saat
menancapkan badik tersebut beliau lebih cepat lima kali tusukan di
banding lawannya yg baru mencabut badiknya yang panjang, itulah salah
satu kecerdikan beliau dan terjawab sudah siap yang akan memimpin rakyat
Banyorang, beliau pun memimpin dengan niat yang tulus dan yang namanya
kehidupan pasti ada kematian dan satu lagi keinginan beliau sebelum
meninggal, yaitu:
Saya mau di kuburkan berdiri bersama badik saya agar saya bisa berkelahi dengan Mungkar.
Entah itu gurauan ataupun serius keluarga tetap melaksanakan keinginan beliau.
Sampai saat ini makam belaiu masih di jaga oleh orang -orang yang setia hingga akhir.........
Duel dalam satu sarung itu atau dalam istilah bahasa Makassar, disebut
”sitobo lalang lipa", merupakan simbolik dari akar budaya kita, yang
berkaitan dengan substansi yang bernama siri na pacce itu.
Siri berkaitan dengan dimensi kehormatan martabat untuk terus ditegakkan , kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan.
Artinya, walaupun kita dalam keadaan mencabut badik dalam menegakkan
harga diri, maka pada saat yang sama, dimensi kemanusiaan juga harus
ditegakkan
Duel dalam satu sarung bagi orang Bugis Makassar
dengan saling dilengkapi dengan benda tajam khas Bugis Makassar yang di
sebut Kawali/ Badik, bukanlah sifat arogansi, kejam atau saling
menganiaya, tetapi di pahami semacam nilai empati, nilai penghargaan
kepada eksistensi rupa tau / penghargaan nilai kemanusiaan, substansi
keadaan ini adalah perihal tarik menarik antara penegakan harga diri
berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan, keharuan terhadap orang
lain pun muncul.
Di sinilah bagaimana manusia Sulawesi Selatan,
khususnya Bugis-Makassar, mengalah dan mengelola eksistensinya
(keberadaannya) untuk bisa mengambil jalan kearifan untuk dapat
mengambil suatu langkah.
Ini spesifik budaya Bugis-Makassar,
ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus
ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa.
Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Dari sinilah bertolak duel satu sarung itu.
Sebenarnya, duel satu sarung yang berlatar siri dan pacce ini banyak
disalah pahami, disalah tafsirkan oleh banyak generasi baru kita.
Kearifan-kearifan diletakkan oleh orang-orang tua kita, leluhur-leluhur kita dalam duel maut tersebut.
Banyak ditafsirkan salah, siri dan pacce bahkan diidentikkan sebagai hasrat untuk membunuh.
Menganggap menegakkan siri tidak lain harus diselesaikan di ujung badik.
Padahal duel di sini bisa dimaknai lebih luas dan dalam: duel
spiritual, duel kultural, duel kemanusiaan untuk menegakkan harga diri
dan martabat sebagai hamba Allah.
Jadi implementasinya dari kearifan itu tadi, kita membela diri atau menegakkan kehormatan sebagai eksistensi hamba yang mulia.
Jadi, kemuliaan manusia itu yang harus dibela jadi jangan sampai ada yang saling menzalimi antar sesama manusia.
Kalau tak ada realitas, di masa-masa lalu, duel satu sarung hubungannya
dengan penyelesaian sebuah konflik yang tidak bisa lain kecuali harus
mencabut badik dengan masuk dalam sarung untuk berduel adalah suatu
simbolik, pengukuh atas kemuliaan seseorang sebagai manusia.
Nah, hubungannya dengan itu, lalu apa yang disebut duel?
Duel sering diasosiasikan sebagai pertarungan fisik.
Duel identik dengan pertempuran fisik.
Padahal di sini, yang lebih subtansial, adalah spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan.
Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya target yang mulia tetapi juga proses ke arah itu.
Untuk menyimpulkan duel satu sarung, sarung harus diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan.
Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama.
Jadi sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang
sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan kebersamaan di antara manusia.
Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi
dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling
meniadakan nyawa.
Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Jadi sarung bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri.
Di antara orang berduel ini di dalam kebencian itulah yang biasa disalahpahami oleh kita semua ini.
Bagaimana menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam
satu sarung, dalam arti kata kita diikat oleh kebersamaan sebagai sesama
manusia, mengapa mesti ada konflik yang harus berdarah-darah?
Inilah, ya, menurut saya di sinilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi
Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan
dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan
pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal
berpolitik, selalu memakai ‘main kayu’.
Jadi penegakan siri dan
pacce melalui peragaan simbolik bertarung dalam satu sarung harus kita
artikan satu ikatan antar sesama manusia.
Di dalam berkonflikpun kita tidak bisa menampikkan atau membenci musuh kita.
Kita tidak bisa mengeksploitasi lawan itu secara binatang, secara
kebencian, itulah eksistensi dari kearifan budaya Bugis- Makassar.
Bagaimana rupa istilah Sipakatau itu dijabarkan dalam perilaku
sehari-hari, termasuk dalam perilaku budaya pada saat gawat yang bernama
konflik.
Di dalam konflikpun kita harus memanusiakan manusia.
Kalau kita bawa hal itu ke dalam dunia moderen seperti saat ini
bagaimana kita mengulangi apa yang dikatakan oleh pakar-pakar budaya
dunia seperti “Kita tidak bisa menciptakan masa kini atau masa depan
tanpa adanya sejarah atau masa lalu”.
Jadi sejarah merupakan guru atau panitia yang memberikan kita kearifan-kearifan.
Jadi untuk membuat keberadaban baru, perlu ada sikap kultural untuk “Discover The New In The Old”.
Menemukan sesuatu yang baru, melalui proses masuk ke dalam budaya-budaya tua.