Jika negeri ini adalah Korea Utara, maka kelaparan adalah hal biasa. Belasan juta penduduknya setiap tahun kekurangan pangan, perut lapar, salju turun, membuat menggigil kedinginan. Anak-anak kurus, tatapan mata suram. Dan tidak ada satupun yang bisa berteriak protes, atau peluru akan menghajar kepala. Jika negeri ini adalah Korea Utara, tidak ada film-film asing, tidak ada lagu-lagu asing, menonton sinetron tertentu dianggap kriminalitas, memainkan sebuah lagu yang salah bisa berakhir di tiang gantungan. Jika negeri ini adalah Korea Utara, mulut-mulut hanya tersumpal diam, jangan tanya facebook, twitter, dsbgnya, jaringan internet dan HP pun dikendalikan penuh penguasanya.
Jika negeri ini adalah Suriah, maka peperangan adalah hal biasa. Ledakan rudal, rentetan peluru, seperti suara jangkrik di malam hari. Percik nyala api, berdentum tinggi, asap menggumpal, menjadi latar biasa saja menuju sekolah dan kantor. Anak-anak hidup bersama kematian yang mengintai. Pangan susah didapat, pekerjaan apalagi. Setiap hari perang saudara meletus. Dan jutaan rakyatnya berjalan tanpa alas kaki mengungsi. Berusaha pergi ke tempat yang lebih baik melewati perjalanan mengerikan. Anak-anak mati di atas kapal, tubuh kurus kering tanpa daya terkapar tontonan lumrah. Menangis? Sudah kering air mata. Jangan tanya update instagram, hei, mereka tidak akan sempat selfie lantas bilang, "sedang terombang-ambing dikapal lima hari."
Jika negeri ini adalah Palestina, maka disaat negara-negara lain bersuka-cita merdeka puluhan tahun, mereka harus terus terbiasa hidup dalam jajahan. Anak-anak kehilangan orang tuanya. Dinding rumah berlubang oleh peluru seperti hiasan saja. Mereka terus tersingkirkan, tanah mereka terus dihabisi penjajah. Terus terhimpit tanpa bisa melakukan apapun. Melawan? Dituduh teroris. Sama seperti pejuang kemerdekaan negeri ini dulu yang juga dituduh ekstremis oleh penjajah. Berteriak tidak terima? Dibungkam dengan mitraliur. Tidak bisa protes, tidak bisa berteriak marah, atau sekutu penjajah akan menyumpal mereka. Listrik sering dimatikan penjajah, air PAM, dan yang lainnya jangan tanya. Hidup mereka "abadi" dalam jajahan.
Tersenyumlah. Bukan karena hidup kita sudah sempurna bahagia, tapi sebagai rasa syukur. Terima kasih, kita tidak hidup sesusah orang lain.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar