Sabtu, 12 September 2015

Diciduk Gara-gara Menulis

Sulawesi Selatan kehilangan seorang maestro. Seorang yang pada dirinya melekat sejumlah predikat. Abdurrahman Gega, akrab disapa Arge, tidak sekadar seorang wartawan tulen yang dibuktikan dengan beberapa periode memimpin PWI Cabang Makassar kemudian PWI Sulsel, tetapi juga seorang aktor, dramawan, penulis esei/drama/skenario, legislator, budayawan, motivator, dan idola bagi sekian banyak orang. Dia berpulang ke rakhmatullah Senin, 10 Agustus 2015 pagi.
Pada tahun 1955, saat berusia 20-an, berdua dengan Arsal Alhabsy almarhum, Arge mulai menapaki rimba jurnalistik. Dia tidak dapat dipisahkan dari Arsal. Sebab, pria tambun itulah yang selalu mendorong Arge menjadi jurnalis.
Arge hampir saja tidak dikenal dalam belantara jurnalistik, kalau saja tertarik menjadi pegawai Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda. Tetapi, Arsal selalu mengajaknya bergaul dengan M Basir, Salman AS, LE Manuhua, dan Achmad Siara. Dari mereka inilah, Arge menghirup atmosfir dan suasana betapa idealnya menjadi wartawan.
Mulailah Arge dan Arsal ‘magang’ di Pedoman Rakyat (PR) dan Marhaen. Terutama, PR yang dibimbing langsung oleh M Basir. Keduanya ditugaskan secara bebas. Arge ditugasi menulis opini tentang sebuah fakta. Arsal menulis tentang kehidupan kelas menengah dengan judul paradoks. Arge mengambil tema mengenai hari Imlek.
Hari Imlek banyak memanfaatkan rakyat kecil ikut merayakannya. Terutama, yang membawa kuda-kuda. Arge pun menulis identitas kebudayaan bangsa.
Antara tahun 1958 dan 1959, Arsal sudah punya rubrik atau kolom jurnalistik dan sastra di ‘’PR’’. Arge malah menulis di Marhaen. Langsung berada di bawah Salman AS.
Pada tahun 1959, karena banyak meliput pada strata kelas menengah, ‘’PR’’ membuka rubrik Minggu yang menampung tulisan yang ringan-ringan.
Muncul pula sebuah lembaga yang menamakan dirinya Lembaga Seni dan Film Rakyat (LESFIRA) yang dipimpin Henk Rondonuwu yang juga termasuk salah seorang wartawan senior, bahkan internasional. Henk Rondonuwu juga terlibat dalam pembuatan teater dan film. Lembaga yang dipimpinnya, LESFIRA pun membikin film. Arge sebagai salah seorang wartawan dan kala itu berusia sekitar 23 tahun. Ia menjadi salah seorang pemeran utama film tersebut. Sutradaranya dari Jakarta.
Ternyata, di balik lembaga ini terselip aspek politik. LESFIRA dituding sebagai kelompok Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Di sudut Jl Bawakaraeng dengan Lapangan Karebosi sekarang ini, Arge dkk membentuk Lembaga Kebudayaan Indonesia Sulawesi Selatan. Perfilman menjadi bagian dari lembaga ini. Waktu itu diproduksi satu film berjudul Prajurit Teladan. Film ini merupakan produk kerja bareng antara Panglima KDMSST, LESFIRA, dan pemilik modal. Arge memegang peran utama dalam film tersebut. Persoalan politik masuk. Arge masih bekerja di Marhaen yang merupakan penerbitan dari Kelompok PNI yang jelas anti Permesta. Arge kemudian dipanggil Achmad Massiara dan Salman AS.
“Saudara Arge, saudara harus punya pilihan. Antara bekerja di Marhaen sebagai wartawan atau memilih lebur di LESFIRA, karena Anda bintang film,” kata Massiara seperti dikemukakan Arge.
Arge berada di dalam posisi yang dilematis. Tiga hari kemudian, Arge datang ke Kantor Marhaen.
“Saya keluar dari Marhaen,” kata Arge yang waktu itu belum memiliki selera politik. Bahkan, tidak mengerti politik.
Dia disuruh pilih. Arge merasa ini suatu ketidakadilan. Dia merasa terjadi kesewenang-wenangan dilakukan Harian Marhaen. Arge ngotot minta keluar. Tapi, Achmad Massiara mengutus orangnya datang ke rumah Arge. Maksudnya, membujuk Arge agar mau kembali ke Marhaen.
Arge berprinsip Bugis. “Saya tidak akan menjilat ludah saya kembali,” kata Arge kepada utusan Achmad Siala.
Soalnya, Arge malu jika kembali ke Marhaen. Pasalnya, rencana mundur dari penerbitan tersebut sudah diceritakan dan diketahui keluarga. Tetapi, ketika syuting film Prajurit Teladan di lapangan Karebosi menjelang 30%-40% -- Ani Kesuma termasuk salah satu bintangnya juga --, pihak LESFIRA giliran mengadili Arge.
“Anda pilih Harian Marhaen, bekerja sebagai wartawan di sana, atau Anda pilih LESFIRA untuk karier sebagai bintang film?,” Arge bernostalgia dalam suatu perbincangan dengan saya tahun 2010.
Karena berprinsip Bugis itu tadi, setelah keluar dari Marhaen, Arge juga menempuh langkah serupa terhadap LESFIRA. Mengundurkan diri. Dia keluar dari dilema psikologis. Mengetahui pengunduran dirinya, Arge didatangi oleh wakil produser. Sutradaranya bernama Sentot.
Lantaran syuting sudah jalan 40 persen dan jika mundur, akan rugi, Arge pun dituntut. Andi Sapada, yang termasuk bagian dari produksi film ini dan sebagai orang tua, mendatangi Arge.
Peraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 1978 di Makassar ini (kemudian) pun keluar tanpa membayar. Maksudnya, tuntutan itu tanpa bayar apa-apa. Tetapi, baik di LESFIRA maupun di Marhaen, karier Arge habis. Dia pun menganggur. Kemudian menjadi penulis freelance. Itu terjadi pada tahun 1960-an.
Pada saat Kodam dipimpin Pak Sayidiman, almarhum Syamsuddin DL dipecat sebagai Ketua PWI. Dia dianggap insubordinasi. Melalui Harian Tegas, Pak Syam menulis pojok yang intinya melawan pemecatan tersebut. Kurang lebih kalimatnya, “Kalau tidak di dunia, nanti kita ketemu di akhirat.” Dalam posisi ini, Arge selaku Wakil Ketua PWI, jelas membela ketuanya. Maka, keluarlah tulisan di Harian Tegas bertajuk Kepemimpinan ABRI di Sulselra Memakai Gaya Napoleon Bonaparte.
Ternyata, gara-gara tulisan itu, Arge diciduk. Belakangan setelah persoalan selesai, Arge memperoleh informasi yang mengerikan. Panglima Kodam XIV Hasanuddin pengganti Sayidiman, yakni Brigjen TNI Azis Bostan, berkisah kepada Arge yang saat itu ditemani Arsal dan Ramiz Parenrengi (alm) Katanya, karena Arge diketahui sering pulang pukul 03.00 dinihari dari Percetakan Bakti Baru, itu sudah dipetakan oleh para intel dan tukang pukul.
“Dan waktu itu, karena tidak ada jalan keluar, Anda akan 'dihilangkan'’, dengan cara ada truk yang mengangkut bambu. Truk itulah yang akan menggeser dan menginjak. Tapi, Anda beruntung, karena tiba-tiba Pangkopkamtib Sumitro saat itu, mengetahui permasalahan tersebut. Maka, diutuslah Hadi, Sekjen PWI Pusat ke Makassar menengahi persoalan ini. Sayidiman bilang, kita berunding lagi. Saya diundang,’’ papar Arge puluhan tahun kemudian kepada saya.
Saya terakhir bertemu Pak Arge 25 Juni 2014, ketika peluncuran buku Iin Tammasse yang dihadiri penyair nasional Taufiq Ismail. ’’Mengendarai’’ kursi roda almarhum didaulat memberikan komentar menyemarakkan peluncuran buku putri sulung Drs Tammasse Balla MHum – Dr dr Jumraini SpS ini.
’’Saya dipajang di sini untuk memberikan sesuatu pada kesempatan ini,’’ kata almarhum dengan mimik yang sangat teatrikal.
Gaya seperti ini, tidak akan ditemukan lagi. Senin, 10 Agustus 2015, pukul 09.45 Wita ayah dan kakek dari beberapa orang anak dan cucu itu telah tiada. Inna lillahi wainna ilaihiri rajiun... (*)
Oleh;
M Dahlan Abubakar
Wartawan senior dan Sekretaris PWI Sulsel 1988-1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar