Sabtu, 12 September 2015

Haji Bukan Candu

Beberapa waktu lalu ada tulisan yang menarik untuk dikritisi. Tulisan dari seorang akademinsi Universitas Indonesia. Judulnya “Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat Ini”. Inti pesan yang hendak disampaikan adalah tentang pengeluaran haji yang cukup besar. Dengan kalkulasi yang minimalis, sang penulis menghitung jumlah pengeluaran untuk haji dan umrah di tahun 2015 bisa mencapai Rp 30 triliun.
Bila dana sebanyak itu digunakan untuk pembangunan masyarakat, katanya akan lebih bermanfaat. Kalau pembangunan rumah sederhana adalah Rp 50 juta, maka bisa dibangun 600 ribu rumah. Bila biaya renovasi sekolah mencapai Rp 200 juta per-sekolah, maka ada 150 ribu sekolah direnovasi. Bila pembetonan jalan selebar 7 meter adalah Rp 8 miliar per-kilometer, dengan dana haji satu tahun itu, bisa dibangun jalan beton 3750 km. Begitu hitung-hitungannya. Sehingga kewajiban haji saat ini, perlu ditinjau ulang. Sebab cenderung menghambur-hamburkan uang, namun tak berdampak banyak kepada masyarakat.
Kita juga teringat, dengan satu pernyataan seorang tokoh dunia yang cukup berani. Pernyataan dari seorang Karl Marx yang menyatakan: Agama itu candu. Karl Marx berpendapat, kalau agama adalah dunia khayalan. Tempat manusia mencari tempat pelarian dari dunia nyata yang menindasnya.
Kesimpulan Karl Marx yang kontroversial itu muncul dari pengamatannya pada fenomena umat beragama saat itu. Banyak orang yang beragama namun berfokus pada perbaikan individu semata. Tidak memberikan efek berarti bagi masyarakat luas. Apalagi pada zaman Karl Marx agama telah dijadikan kendaraan politik dan alat untuk membohongi publik. Agama hanya memberikan manusia kesenangan sejenak (seperti candu), tapi sejatinya tidak membuatnya lebih maju.
Sumber Hukum
Bagi yang menyatakan kewajiban haji perlu ditinjau lagi dan Karl Marx yang berpendapat bahwa agama adalah candu, tampaknya telah melakukan sebuah kekeliruan logika. Mereka menjadi fakta sebagai sumber hukum. Padahal yang seharusnya adalah kebalikannya. Faktalah yang harus dihukumi.
Boleh jadi dari fenomena yang berkembang sekarang, haji belum memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perbaikan bangsa. Dari tahun ke tahun jumlah jamaah haji terus meningkat. Antusiasme masyarakat untuk menyempurnakan rukun Islamnya, tidak lagi terbendung. Ada daerah yang sampai 20 tahun daftar tunggunya. Namun di satu sisi, fakta menunjukkan tidak adanya korelasi yang berbanding lurus antara jumlah jamaah haji dengan perbaikan nasib bangsa. Justru yang terjadi negeri ini semakin dililit beragam krisis.
Kalau begitu alur logikanya, bukan ibadah haji yang disalahkan. Sebagai seorang muslim tentu kita meyakini di atas argumentasi normatif bahwa perintah Allah tak ada yang salah. Tak terkecuali perintah untuk berhaji bagi yang mampu. Kesalahan ada pada pribadi pelaksananya. Bukan pada syariatnya. Yang harus dipertanyakan adalah, mengapa mereka yang berhaji tidak bisa menangkap nilai-nilai haji dan menerapkan dalam kehidupan bermasyarakat? Mengapa banyak yang berhaji berulang-ulang hanya mencari kepuasan batin saja. Sehingga haji seolah-olah menjadi candu. Padahal dalam ibadah haji terkandung pesan untuk menjadi pembaharu bagi masyarakat. Dalam syariat haji sangat kental termuat pesan tentang ketaatan dan persatuan umat.
Ketaatan Total
Pesan tentang ketaatan adalah salah satu yang paling tampak dari ibadah haji. Cermatilah jamaah haji saat melaksanakan semua rukun haji. Tidak ada yang menyuarakan protes sedikit pun. Semua dilakukan dengan ikhlas dan taat. Tidak ada yang protes, mengapa tawaf harus mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Mengapa bukan bangunan bersejarah lain? Mengapa jumlah bilangan tawaf tidak ditambah atau dikurangkan saja? Sama pula, tidak ada yang protes tentang bentuk pakaian ihram yang hanya dua lembar kain putih. Jelasnya semua dilakukan dengan penuh ketaatan.
Ketika diseru untuk melontar jumrah tujuh kali, tidak ada yang menolak. Dilaksanakan dengan taat. Lalu mengapa banyak penolakan yang muncul misalnya saat diperintahkan untuk menegakkan ekonomi berbasis syariah. Tidak ada penentangan atau mencari rute lain yang lebih dekat, sewaktu diperintahkan untuk Sa’i dari Bukit Safa ke Marwa. Namun mengapa terlalu banyak penolakan saat diperintahkan untuk menerapkan pemerintahan berdasarkan syariat Islam?
Andai saja ketaatan itu dijaga, dibawa pulang sampai ke tanah air, bukan mustahil akan ada perubahan besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Semua syariat yang Allah perintahkan, dilaksanakan. Mulai dari syariat menyangkut urusan pribadi, sampai aturan Islam di bidang ekonomi, pemerintahan dan bidang sosial lainnya.
Persatuan Umat
Selain pesan ketaatan, haji juga sarat dengan nuansa persatuan. Seluruh umat Islam dari seantero dunia berkumpul jadi satu. Tak ada lagi perbedaan warna kulit, mazhab apalagi bangsa. Betul-betul terjadi peleburan yang sempurna. Persatuan itu kian tampak saat Hari Arafah. Kebesaran dan keagungan umat Islam terlihat jelas. Siapa yang tidak gentar melihat persatuan yang sedemikian rupa. Sampai-sampai setan pun turut merasa hina di Hari Arafah.
“Tidak pernah ada hari dimana setan tampak lebih kecil, hina dina dan marah kecuali Hari Arafah.” (H.R. Malik).
Dari haji kita belajar, bahwa mempersatukan umat Islam sedunia, sebenarnya bukan hal yang mustahil. Islam terbukti mampu mempersatukan manusia melintasi batas negera. Membuat suku dan warna kulit bukan lagi penghalang. Persatuan itu bisa saja diwujudkan karena umat Islam berdiri di atas akidah yang sama, akidah Islam dan ikatan pemersatu yang kokoh, ukhuwah islamiyah.
Tugas mereka yang telah melaksanakan haji dan sempat merasakan gempitanya persatuan di Padang Arafah adalah menjaga persatuan itu agar bisa abadi. Karena selama ini yang terjadi, persatuan itu seolah semu belaka. Setelah Hari Arafah, umat Islam pun kembali terkotak-kotakkan dalam batas-batas teritorial negara masing-masing.
Jadi terkandung dua dimensi pesan dalam ibadah haji. Spiritual dan politik. Yang baru sempurna dibawa pulang ke tanah air adalah aspek spiritual saja. Dari aspek politik (ketaatan dan persatuan) tampaknya masih terlupakan. Inilah sebab ibadah haji seperti menjadi candu. Banyak yang merindukan untuk kembali ke Baitullah. Namun hanya berhasil meraih kesholehan individu. Sehingga tidak berdampak pada kesholehan sosial. Maka muncullah sentimen negatif yang salah alamat, karena ditujukan pada syariat haji.
Semoga saja di tahun ini jamaah haji tidak banyak yang melupakan pesan politis yang terkandung dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Pesan tentang ketaatan dan persatuan. Semoga mereka menjadi haji mabrur, bukan haji yang dirasakan sekadar seperti candu. Haji yang mampu memberikan dampak perbaikan terhadap peradaban Islam di Indonesia, juga dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar