Situasi perekonomian nasional yang lesu dinilai berbagai pihak sudah mulai berdampak langsung ke tingkat kesejahteraan masyarakat. Perlambatan ekonomi dan sejumlah indikator perekonomian yang melemah juga diyakini semakin meningkatkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan pendapatan. Hal ini harus diwaspadai, karena khususnya masalah pengangguran di kalangan muda, berpeluang memicu atau memperburuh berbagai masalah sosial dan juga kesehatan masyarakat.
Memang data mengenai tingkat kemiskinan dan pengangguran terbaru belum diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun berbagai lembaga telah mengeluarkan laporan. LaporanInstitute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya memperkirakan tingkat kemiskinan telah meningkat dari 10,96 persen menjadi 11,5 persen pada periode Maret 2014-Maret 2015. INDEF juga mengaku bahwa perhitungan yang dilakukannyamemakai metode yang hampir sama dengan BPS.
Menurut kajian INDEF, meningkatnya kemiskinan dalam setahun terakhir ini disebabkan beberapa faktor. Pertama karena secara umum terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada semester 1 pertumbuhan ekonomi turun dari 5,17 perseng menjadi 4,7 persen. Sementara itu, tingkat kemiskinan juga berkorelasi dengan inflasi.
INDEF menilai menurunnya kesejahteraan rakyat ini disebabkan gagalnya program dan kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Harus dicatat pula bahwa pada periode yang sama, pengangguran meningkat pula dari 7 persen menjadi 7,5 persen.
Tidak mengejutkan bila tingkat kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin (koefisien gini atau rasio gini rasio) pun semakin melebar pada 2015. Ketimpangan tersebut meningkat dari 0,41 persen menjadi 0,42 persen.
Bantuan Sosial
Tingkat inflasi yang melambung selama Januari-Juli 2015 khususnya inflasi bahan makanan juga menjadi pemicu tekanan yang sangat tinggi bagi banyak kalangan masyarakat. Pada Juli inflasi bahan makanan misalnya telah mencapai 8,28 persen. Selain itu penurunan juga terjadi pada upah riil masyarakat bawah seperti kalangan buruh.
Upah buruh industri menurun secara riil sebesar 3,5 persen secara triwulanan.Penurunan upah riil terutama terjadi pada industri yang padat karya, seperti industri makanan, tekstil, percetakan, karet, dan plastik.
Ironisnya, program bantuan sosial yang diberlakukan pemerintah belum menunjukkan hasil yang efektif, misalnya saja program Raskin dan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Kondisi menjadi semakin buruk karena adanya jumlah pengangguran yang meningkat cukup tajam. Hal ini antara lain disebabkan karena pada tahun 2015 ini angka elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 180.000 orang.
Besarnya dampak sosial dan kesehatan masyarakat akibat tingginya angka pengangguran, khususnya di kalangan muda laki-laki sudah banyak diteliti.Sejumlah penelitian menunjukkan adanya hubungan ketiadaan pekerjaan dengan dorongan memulai atau melanjutkan tindak kriminalitas dan perilaku berisiko. Memang hubungan antarkeduanya tidak bersifat kausal. Tetapi, data-data empiris menunjukkan besarnya keterlibatan kalangan muda laki-laki yang menganggur atau setengah menganggur dalam kriminalitas, khususnya kriminalitas jalanan (petty crime) dan perilaku berisiko seperti kekerasan dan penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya.
Data kriminologi dan kesehatan masyarakat juga menunjukkan betapa rentan keterlibatan anak muda lelaki menganggur dalam tindak kriminalitas dan perilaku berisiko yang berujung pada risiko hukum dan kesehatan masyarakat, seperti pemenjaraan, cedera, kesakitan, hingga kematian.
Banyak literatur menunjukkan, betapa aspek psikososial dan jender terkait pengangguran harus dipertimbangkan. Banyak studi menunjukkan bahwa anak-anak muda lelaki dalam rentang usia 15-24 tahun yang menganggur dan setengah menganggur merupakan kalangan paling banyak terlibat tindak kriminalitas dan perilaku berisiko.
Barker (2005) dalam “Dying to be men” mengingatkan perlunya melihat masalah pengangguran bukan dari ekonomi saja, tetapi juga dari psikososial dan jender. Pemahaman para elite pemerintah yang tajam dan rinci terhadap aspek psikososial dan jender masalah pengangguran akan memengaruhi formulasi kebijakan yang akan diambil guna penanggulangan.
Kesenjangan Ekonomi
Selain masalah pengangguran di atas, masalah terkait yaitu kesenjangan ekonomi juga harus diwaspadai. Makin banyak penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang makin lebar memiliki pengaruh merugikan terhadap kesehatan perseorangan maupun kesehatan masyarakat.
Dalam laporan berjudul Does Income Inequality Cause Health and Social Problems? (2011), Karen Rowlingson, melakukan review terhadap hasil-hasil penelitian yang menelaah hubungan kesenjangan ekonomi dan kondisi kesehatan.
Ia tegas menyimpulkan bahwa meskipun tidak bersifat kausal, sulit diingkari adanya korelasi antara keduanya. Rowlingson menunjukkan indikator-indikator kesehatan dan sosial seperti usia harapan hidup, angka kematian ibu dan anak, angka kesakitan, ataupun indikator-indikator seperti angka kejadian depresi dan gangguan mental, tingkat ketergantungan pada alkohol dan narkotika (beserta segala dampaknya), kehamilan remaja dan angka kekerasan (termasuk pembunuhan) yang hampir selalu lebih tinggi di negara-negara yang memiliki t9ngkat kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang tinggi.
Karena besarnya dampak sosial dan kesehatan masyarakat akibat kemiskinan, kesenjangan dan pengangguran maka pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla perlu bertindak cepat dan tepat mengatasi memburuknya masalah ekonomi ini. Berbagai lembaga termasuk INDEF telah memberi sejumlah rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi solusi jangka pendek dan fundamental seperti perlunya memperluas dan memperlancar akses pasar. Namun selama ini pemerintah selalu mengajukan alasan kekurangan pembiayaan, keterbatasan anggaran, dan ruang fiskal yang sempit. Pemerintah perlu pula kembali membangkitkan potensi terbesar Indonesia yaitu usaha kecil dan menengah (UKM). Pemerintah sendiri telah berulang kali mencanangkan tekad mengurangi tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rasio ketimpangan pendapatan.
Memang data mengenai tingkat kemiskinan dan pengangguran terbaru belum diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun berbagai lembaga telah mengeluarkan laporan. LaporanInstitute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya memperkirakan tingkat kemiskinan telah meningkat dari 10,96 persen menjadi 11,5 persen pada periode Maret 2014-Maret 2015. INDEF juga mengaku bahwa perhitungan yang dilakukannyamemakai metode yang hampir sama dengan BPS.
Menurut kajian INDEF, meningkatnya kemiskinan dalam setahun terakhir ini disebabkan beberapa faktor. Pertama karena secara umum terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada semester 1 pertumbuhan ekonomi turun dari 5,17 perseng menjadi 4,7 persen. Sementara itu, tingkat kemiskinan juga berkorelasi dengan inflasi.
INDEF menilai menurunnya kesejahteraan rakyat ini disebabkan gagalnya program dan kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Harus dicatat pula bahwa pada periode yang sama, pengangguran meningkat pula dari 7 persen menjadi 7,5 persen.
Tidak mengejutkan bila tingkat kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin (koefisien gini atau rasio gini rasio) pun semakin melebar pada 2015. Ketimpangan tersebut meningkat dari 0,41 persen menjadi 0,42 persen.
Bantuan Sosial
Tingkat inflasi yang melambung selama Januari-Juli 2015 khususnya inflasi bahan makanan juga menjadi pemicu tekanan yang sangat tinggi bagi banyak kalangan masyarakat. Pada Juli inflasi bahan makanan misalnya telah mencapai 8,28 persen. Selain itu penurunan juga terjadi pada upah riil masyarakat bawah seperti kalangan buruh.
Upah buruh industri menurun secara riil sebesar 3,5 persen secara triwulanan.Penurunan upah riil terutama terjadi pada industri yang padat karya, seperti industri makanan, tekstil, percetakan, karet, dan plastik.
Ironisnya, program bantuan sosial yang diberlakukan pemerintah belum menunjukkan hasil yang efektif, misalnya saja program Raskin dan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Kondisi menjadi semakin buruk karena adanya jumlah pengangguran yang meningkat cukup tajam. Hal ini antara lain disebabkan karena pada tahun 2015 ini angka elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 180.000 orang.
Besarnya dampak sosial dan kesehatan masyarakat akibat tingginya angka pengangguran, khususnya di kalangan muda laki-laki sudah banyak diteliti.Sejumlah penelitian menunjukkan adanya hubungan ketiadaan pekerjaan dengan dorongan memulai atau melanjutkan tindak kriminalitas dan perilaku berisiko. Memang hubungan antarkeduanya tidak bersifat kausal. Tetapi, data-data empiris menunjukkan besarnya keterlibatan kalangan muda laki-laki yang menganggur atau setengah menganggur dalam kriminalitas, khususnya kriminalitas jalanan (petty crime) dan perilaku berisiko seperti kekerasan dan penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya.
Data kriminologi dan kesehatan masyarakat juga menunjukkan betapa rentan keterlibatan anak muda lelaki menganggur dalam tindak kriminalitas dan perilaku berisiko yang berujung pada risiko hukum dan kesehatan masyarakat, seperti pemenjaraan, cedera, kesakitan, hingga kematian.
Banyak literatur menunjukkan, betapa aspek psikososial dan jender terkait pengangguran harus dipertimbangkan. Banyak studi menunjukkan bahwa anak-anak muda lelaki dalam rentang usia 15-24 tahun yang menganggur dan setengah menganggur merupakan kalangan paling banyak terlibat tindak kriminalitas dan perilaku berisiko.
Barker (2005) dalam “Dying to be men” mengingatkan perlunya melihat masalah pengangguran bukan dari ekonomi saja, tetapi juga dari psikososial dan jender. Pemahaman para elite pemerintah yang tajam dan rinci terhadap aspek psikososial dan jender masalah pengangguran akan memengaruhi formulasi kebijakan yang akan diambil guna penanggulangan.
Kesenjangan Ekonomi
Selain masalah pengangguran di atas, masalah terkait yaitu kesenjangan ekonomi juga harus diwaspadai. Makin banyak penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang makin lebar memiliki pengaruh merugikan terhadap kesehatan perseorangan maupun kesehatan masyarakat.
Dalam laporan berjudul Does Income Inequality Cause Health and Social Problems? (2011), Karen Rowlingson, melakukan review terhadap hasil-hasil penelitian yang menelaah hubungan kesenjangan ekonomi dan kondisi kesehatan.
Ia tegas menyimpulkan bahwa meskipun tidak bersifat kausal, sulit diingkari adanya korelasi antara keduanya. Rowlingson menunjukkan indikator-indikator kesehatan dan sosial seperti usia harapan hidup, angka kematian ibu dan anak, angka kesakitan, ataupun indikator-indikator seperti angka kejadian depresi dan gangguan mental, tingkat ketergantungan pada alkohol dan narkotika (beserta segala dampaknya), kehamilan remaja dan angka kekerasan (termasuk pembunuhan) yang hampir selalu lebih tinggi di negara-negara yang memiliki t9ngkat kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang tinggi.
Karena besarnya dampak sosial dan kesehatan masyarakat akibat kemiskinan, kesenjangan dan pengangguran maka pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla perlu bertindak cepat dan tepat mengatasi memburuknya masalah ekonomi ini. Berbagai lembaga termasuk INDEF telah memberi sejumlah rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi solusi jangka pendek dan fundamental seperti perlunya memperluas dan memperlancar akses pasar. Namun selama ini pemerintah selalu mengajukan alasan kekurangan pembiayaan, keterbatasan anggaran, dan ruang fiskal yang sempit. Pemerintah perlu pula kembali membangkitkan potensi terbesar Indonesia yaitu usaha kecil dan menengah (UKM). Pemerintah sendiri telah berulang kali mencanangkan tekad mengurangi tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rasio ketimpangan pendapatan.
Tentu tidak ada program atau cara instan yang bisa seketika mengurangi angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan di atas. Namun masyarakat menunggu upaya serius dan konsisten pemerintah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar