Sabtu, 12 September 2015

Egosentris Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender, atau yang disebut dengan feminisme,
Adalah saudara kandung dari HAM
Omong kosong bicara HAM jika perempuan masih tertindas oleh hegemoni laki-laki
Tapi masalahnya, kenapa banyak yang alergi dengan isu dan aksi kesetaraan gender?
Bahkan sikap antipati itu tidak hanya datang dari egoisme kaum laki-laki,
tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri.
Padahal yang diperjuangkan oleh kaum Feminis, justru harkat perempuan itu sendiri

Sebabnya menurut saya adalah,
Karena wajah feminisme di pentas sosial baru dalam bentuk karikatural
Misalnya, banyak perempuan mulai tidak menghargai laki-laki
Berlaku kasar pada seorang suami.
Bahkan sebagian, tak mau lagi menyusukan anak mereka
Dan sebagian lain, ingin membuktikan pada kaum laki-laki
Bahwa mereka tidak hanya hidup bebas dari ketergantungan,
Tapi juga sekaligus sudah tidak membutuhkan laki-laki lagi
Baik secara finansial, keamanan bahkan dari sisi seksualitas
Sehingga marak lahirnya komunitas lesbianisme
Bahkan itu juga menjadi sebuah gaya hidup baru

Singkatnya,
Itulah yang menyebabkan Feminisme menjadi sulit mendapat apresiasi yang proporsional dari masyarakat, apalagi untuk diterima sebagai sebuah model relasi kongkrit antara laki-laki dengan perempuan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan itulah yang saya sebut dengan euforia feminisme. Yang ditangkap, baru ekses, baru malpraktek dari Filsafat Feminisme.

Padahal roh dari Feminisme, adalah kesataraan gender.
Yang artinya adalah persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki.
Bukan kesamaan gender.

Rumusnya, sangat sederhana
Gender artinya adalah kelamin
Maka untuk kelamin, tidak ada pilihan.
Itu sudah merupakan naturnya seseorang sejak dilahirkan.
Sebagai seorang laki-laki, saya tidak mungkin bisa menyusukan seorang anak.
Dan sebagai seorang perempuan, anda tidak akan pada tempatnya mengelak untuk menyusukan seorang bayi yang anda lahirkan. Karena sistem tubuh anda, akan bekerja secara alami untuk terjadinya proses saling ketergantungan antara anda dengan bayi anda sendiri. Ada jembatan kontak biologis yang tak bisa dibantah.

Lebih kurang itu sebagai contoh
Bahwa gender, adalah kodrat.
Kodrat alamiah.
Pada bagian itulah terjadi pembedaan antara laki-laki dengan perempuan.
Sedang pada selain unsur-unsur biologis alamiah, tidak ada kategori gender.
Tentang siapa yang akan mengasuh anak, mencuci piring, belanja bahan masakan dapur, mencari nafkah, bahkan pemimpin di suatu rumah tangga, bahkan negara, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah gender. Semua itu tidak mengenal jenis kelamin. Tapi hanya peduli pada kompetensi, kemauan dan kesempatan. Singkatnya, itu hanya soal budaya. Soal kebiasaan. Soal norma sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Dan itu, tidak mutlak!

Karena itulah dalam bahasa gender, beberapa frasa dibawah ini menjadi haram:

“Kamu harus patuh pada saya, karena kamu perempuan”
“Kamu tidak boleh kuliah, karena sebagai perempuan, tugasmu hanya mengasuh anak-anak.”
“Hei ... bangsat! Jangan asal bicara kamu. Aku ini laki-laki. Pemimpin bagi kamu”

Secara gamblang, itulah beberapa contoh sikap dan prilaku bias gender dalam kehidupan sehari-hari dalam relasi antara laki-laki dengan perempuan, antara suami dengan isteri. Padahal, perkara siapa yang harus dipatuhi, itu bukan soal jenis kelamin, tapi justru soal kharisma dan jiwa kepemimpinan seseorang. Tidak peduli kompetensi itu bersarang pada seorang laki-laki atau perempuan. Begitu juga soal berprestasi dalam kehidupan rumah tangga. Tentang siapa yang boleh, tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Tapi adalah soal siapa yang mampu. Dan punya minat. Lalu kesempatan sangat kondisif untuk itu. Karena itu kosa katanya akan menjadi:

“Jika memang kamu ingin kuliah kembali, itu bagus. Lagi pula kondisi finansial kita sudah mendukung. Soal anak-anak, saya bisa usahakan. Paling tidak, nanti kita cari pembantu. Yang penting, kamu terus maju!”

Atau jika ingin menolaknya, maka dalam perspektif feminisme, bahasanya akan menjadi lebih kurang seperti ini:

“Saya pikir kamu tidak mungkin kuliah. Karena anak ini masih membutuhkan kasih sayangmu lebih dekat. Lagi pula dia belum berhenti menyusu. Dan dari segi ekonomi pun, kita belum sanggup. Tapi jika semua ini sudah mendukung, kenapa tidak”

Jadi bukan dengan kalimat seperti ini:
“Kamu tidak boleh kuliah, karena kamu seorang isteri (Perempuan).
Tugasmu adalah untuk melayani suami dan anak-anak.”

Penekanannya, jelas berbeda.
Yang pertama murni karena alasan kompetensi, kemauan dan kesempatan (peluang).
Sedang yang kedua, hanya berkutat soal jenis kelamin.

Nah memberi penyadaran akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itulah visi kaum Feminis. Bukan untuk menguasai kaum laki-laki. Bukan untuk melakukan dendam kelamin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar