Sabtu, 12 September 2015

Pilkada Berintegritas

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan serentak gelombang pertama 9 Desember 2015 memasuki tahap kampanye. Setidaknya 269 daerah (9 provinsi dan 260 kabupaten/kota) dijadwal mengikuti pilkada. Namun, masih ada daerah yang hanya satu calon, tetapi KPU lagi-lagi memberi perpajangan waktu pendaftaran ketiga kalinya, seperti Kota Surabaya dan tiga daerah lainnya.
Salah satu aspek yang patut diapresiasi adalah jajak pendapat “publik dan pilkada” Harian Kompas (31/8/2015) bahwa rakyat dalam memilih kepala daerah tidak lagi terpengaruh pada primordialisme (satu kampung).
79,7% responden menyebut tidak ada keharusan memilih kepala daerah karena sesama putra daerah. Begitu pula asal-usul parpol yang mengusung calon. Sekitar 83,9% responden menyatakan tidak akan memilih calon, hanya karena satu parpol saat pemilu legislatif 2014.
Rakyat tidak lagi terpengaruh kepentingan parpol, apalagi calon yang diusung tidak kapabel. Rakyat mengonfirmasi sikapnya yang semakin cerdas dan realistis. Dari aspek filosofi demokrasi menyiratkan pula kecenderungan, bahwa memilih pemimpin daerah tidak lagi terjebak pada pragmatisme, melainkan berdasarkan rasionalitas. Namun, preferensi rakyat bisa saja berubah, jika saat kampanye visi-misi dan program-program calon mampu menyakinkan rakyat untuk menyejahterakan kehidupannya.
Politik Uang
Untuk menciptakan pilkada jujur, adil, dan transparan, KPK selaku institusi antikorupsi meluncurkan program “Pilkada Berintegritas” (31/8/2015). Tujuannya mencegah terjadinya politik uang (money politic) atau suap-menyuap. Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja (Tribunnews.com, 31/8/2015) mengatakan pihaknya akan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap siapapun yang melakukan transaksi mencurigakan yang berbau korupsi di pilkada.
Adnan mengimbau masyarakat agar langsung melapor ke KPK jika mengetahui ada informasi transaksi haram di pilkada. Namun, langkah KPK harus tepat sasaran karena politik uang (menyogok pemilih) agar memilih calon tertentu, masuk dalam ranah pelanggaran pemilu yang diproses oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) seperti dimaksud Pasal 152 UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
UU Pilkada tidak tegas menjawab persoalan politik uang atau sogok-menyogok, yang menurut UU Nomor 31/1999 diubah dengan UU Nomor/20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) digolongkan korupsi. Ada langkah mundur jika dibandingkan dengan muatan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah direvisi, bahwa subjek hukum politik uang adalah setiap orang.
Politik uang diatur pada Pasal 47 dan Pasal 73 UU Pilkada. Pasal 47 melarang parpol atau gabungan parpol menerima imbalan (baca: mahar politik) dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota. Sedangkan Pasal 73 UU Pilkada melarang calon dan/atau tim kampanye (terdaftar di KPU) menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih.
Bagi calon yang terbukti melanggar sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi “pembatalan sebagai calon” oleh KPU Daerah, serta sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Bagi tim kampanye yang melanggar dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Sanksi pidana dimaksud bagi yang bukan subjek hukum korupsi mengacu pada UU Nomor 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Subjek hukum politik uang hanyalah pasangan calon dan tim kampanye yang terdaftar di KPU. Padahal dalam praktik, politik uang justru tidak dilakukan tim kampanye, melainkan tim bayangan dan relawan. Sedangkan subjek hukum suap dan gratifikasi dalam UU Korupsi ialah pegawai negeri sipil, aparat penegak hukum, dan penyelenggara negara, termasuk “setiap orang” bagi yang menjanjikan atau memberi suap.
Untuk mewujudkan pilkada berintegritas, maka pencegahan politik uang oleh KPK begitu penting untuk menumbuhkan rasa takut untuk berbuat. KPK membantu penyelenggara, parpol, calon, tim kampanye, dan rakyat untuk melaksanakan pilkada bersih dan jujur. Upaya pencegahan KPK bukan tanpa data. KPK telah memproses 61 kasus korupsi kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPK mendesain agar kepala daerah yang terpilih tidak mengembalikan biaya kampanye dan politik uang dengan melakukan korupsi.
Sasaran krusial KPK untuk mencegah korupsi, adalah calon petahana lantaran berpotensi kuat menyalahgunakan wewenang. Kendati sudah mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai calon, boleh jadi saat menjabat memakai dana bansos dan anggaran lain dalam APBD dengan melanggar hukum. Termasuk menggerakkan birokrasi, PNS, kepala sekolah, camat, lurah/kepala desa, hingga RT/RW untuk memenangkan dirinya.
Cegah Konflik
Sejatinya pilkada serentak diarahkan untuk menumbuhkan citra positif bahwa rakyat di negeri ini mampu mengikuti demokrasi tanpa direcoki konflik. Berkaca pada pilkada sebelumnya, begitu banyak persoalan yang memantik terjadinya konflik. Mulai pada saat penetapan calon, masa kampanye, sampai penetapan calon terpilih oleh KPU Daerah.
Masa kampanye menjadi tahapan yang paling rawan menimbulkan konflik. Meskipun bentuk kampanye sudah diatur mekanismenya, pelaksanaannya perlu koordinasi yang baik antara kepolisian selaku penanggung jawab keamanan dengan penyelenggara. Saat penetapan calon terpilih dan netralitas penyelenggara juga rawan konflik. Kalau KPUD dan jajarannya sampai TPS dan Bawaslu tidak netral, bisa menjadi pemantik konflik. Massa pendukung yang merasa dicurangi bisa marah dan membakar Kantor KPUD dan kantor pemerintah daerah.
Begitu pula saat penghitungan suara dan penetapan calon terpilih. Potensi konflik bisa muncul jika penghitungan suara yang dimiliki calon berbeda dengan yang ditetapkan KPUD. Perbedaan penghitungan suara itu bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini perlu diantisipasi oleh kesiapan MK untuk memeriksa dan memutus tepat waktu semua sengketa. Setengah saja calon yang kalah menggugat, sudah pasti merepotkan MK.
Semoga penyelenggara, parpol, kepolisian, dan rakyat bersinergi mencegah konflik. Kita cukup berpengalaman melaksanakan pilkada langsung. Rakyat juga tidak boleh lagi tergoda oleh rayuan tim sukses atau siapapun untuk memilih calon karena disogok atau diancam. Jika rakyat konsisten, maka pilkada langsung dan serentak bukan hanya menghasilkan kepala daerah yang berintegritas, tetapi juga menjadi rujukan kesuksesan terhadap pilkada serentak berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar