Sabtu, 12 September 2015

"WUJUDKAN PEMBARUAN AGRARIA"

Tanggal 24 September adalah Hari Tani Nasional (HTN) yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno untuk memperingati lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)/UU Nomor 5 Tahun 1960. Momentum tersebut juga biasa disebut hari raya bagi kaum Tani, namun kondisi riil yang ada sampai hari ini hampir para kaum tani tidak pernah merasakan kemerdekaannya. Jumlah kemiskinan kaum petani terus bertambah setiap tahunnya. Ini berarti kaum tani di Indonesia masih belum mendapatkan kemerdekaan.Berbagai analisis dan penelitian mencatat bahwa kemiskinan rakyat, terutama petani, berakar pada kurangnya bahkan tiadanya akses rakyat terhadap tanah. Sebaliknya, konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) berada pada segelintir pemodal besar yang secara struktural memang diuntungkan oleh paham pembangunan yang kapitalistik.

Ketimpangan struktur agraria semacam inilah yang membuat petani berlahan sempit dan beralih pekerjaannya menjadi buruh tani atau buruh kebun, yakni terpaksa bekerja dan menjadi buruh di tanah-tanah yang semula miliknya sendiri, dan sekarang telah dikuasai oleh pemilik modal besar. Akibatnya, buruh tani dan kebun menjadi kelompok masyarakat yang paling mudah menjadi korban dari ketidakadilan agraria.

Inilah akibat dari struktur agraria yang kapitalistik yang diwarisi Indonesia sejak masa kolonial, hendak dirombak pada masa Sukarno, dan struktur ini dikukuhkan kembali pada masa Soeharto, dan diteruskan hingga sekarang. Sementara, seperti telah kita mengerti bersama, pandangan kapitalistik ini sangat bertentangan dengan dasar pendirian negara Indonesia, yang mencita-citakan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, kita dapat mengerti kenapa para pendiri negara Indonesia, amat memprihatinkan ketimpangan struktur agraria Indonesia dan kebutuhan untuk merombaknya, sebagai sendi untuk menata masyarakat Indonesia, yang baru terbebas dari penjajahan. Karena ketimpangan struktur agraria merupakan penyebab utama kemelaratan dan kemiskinan rakyat Indonesia sampai dewasa ini.

Perdagangan tanah merupakan tonggak bagi lahirnya berbagai bentuk ketidakadilan dan penderitaan petani. Tanah rakyat disulap menjadi perusahaan perkebunan, perhutani, kawasan pertambangan, dan kawasan industri. Petani yang sebelumnya berdaulat atas tanahnya, kini beralih menjadi buruh tani dengan segala ketentuan yang merugikan. Mereka rela menjual tenaga dan jiwanya sekedar untuk mendapat upah agar bisa bertahan hidup. Sehingga semakin meluasnya kemiskinan dan keterbelakangan petani yang berakar pada rendahnya akses penguasaan tanah kini tersebar luas di berbagai daerah Indonesia, termasuk Maluku Utara. Kehidupan mereka ditandai oleh berbagai kekurangan berupa kelangkaan pangan, pengangguran, minimnya akses informasi dan kesempatan pengembangan diri dan sosial. Kesulitan ini bertambah manakala tanggapan pemerintah terhadap tuntutan petani akan pemilikan tanah tersebut adalah berupa pola-pola kekerasan, yakni penyitaan, perampasan, dan penangkapan serta pemenjaraan bahkan pembunuhan terhadap petani (lihat peristiwa; Mesuji dan Bima, serta Kao-Malifut, Fitu, Gambesi, Gane Barat-Timur, Pulau Taliabu, di Maluku Utara, dll).

Penguasaan dan pemilikan tanah sebagai dasar terwujudnya kehidupan yang layak dan sejahtera bagi petani, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga harus dijunjung tinggi dan ditegakkan secara terus menerus oleh negara. Itu berarti, minim atau tiadanya kepemilikan tanah akibat pembangunan yang kapitalistik dan menindas petani, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Rendah atau tiadanya kepemilikan tanah berarti petani kehilangan sumber pendapatan, rentan terhadap berbagai kekerasan dan menjadi objek pemerasan berbagai perusahaan tempat mereka menjual tenaga untuk bisa bertahan hidup. Berbagai kesulitan tersebut menghambat proses pengembangan diri dan sosial.Jelaslah, bahwa pemerintah SBY saat ini tidak berkehendak untuk menjalankan Pembaruan Agraria, seperti yang telah diamanatkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960) dan Ketetapan MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Oleh sebab itu, Front Mahasiswa bersama Kaum Tani, Nelayan, Buruh, dan Rakyat Miskin lainnya, menuntut :


• Laksanakan Pembaruan Agraria (Land Reform)

• Pulihkan Hak Rakyat atas Tanah dan Kekayaan Alam

• Mendesak Pemerintah puat maupun daerah untuk segera menyelesaikan sengketa lahan yang ada, dan memperjelas status tanah yang seringkali dipakai untuk mendirikan perusahaan swasta maupun daerah.

• Mendesak Pemerintah pusat maupun daerah untuk segera meningkatan produktifitas Petani dan Nelayan lewat Subsidi Pemerintah.

• Mendesak Pemerintah pusat maupun daerah untuk segera menaikan harga Komoditas Pertanian yg sedang menurun.

• Mendesak Polri untuk secepatnya menyelesaikan semua masalah yang melibatkan oknum anggota kepolisian atas perbuatan tidak menyenangkan terhadap warga yang disebabkan oleh persoalan sengketa lahan.

• Nasionalisasi Industri/Perusahan Asing untuk rakyat.

• Bangun Industri Nasional yang kuat dan Mandiri untuk rakyat.





Selamat Hari Tani Nasional, 24 September 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar